Rabu, 18 Maret 2009

Usaha Percetakan, Bertahan Di Tengah Arus Digitalisasi

JAKARTA. Makin mudah dan murahnya teknologi cetak digital dengan printer warna dan laminating dock membuat usaha percetakan makin mudah dilakukan. Siapa pun bisa membuka usaha percetakan ini asal punya koneksi dan segmen pasar yang jelas.


Namun, sesaknya persaingan usaha percetakan tak membuat Elik Ragil surut langkah. Berbasis pada pemasaran online di situs multiply, pemuda 27 tahun ini mampu bertahan menghidupkan bisnis percetakannya di bawah bendera Sahabat Printing.


"Selama masih ada acara, prospek bisnis percetakan masih ada. Walaupun hanya untuk sampul CD semata," ujar Elik optimistis.


Awalnya, jebolan fakultas sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Hamka ini hobi membuat sablon kaos. Lama kelamaan, tak hanya kaos yang disablonnya. Aneka poster dan spanduk pun turut digarapnya.


Dari usaha yang dirintis sejak tahun 2003 tersebut, Elik kemudian memantapkan diri membuka usaha percetakan kertas. Karena waktu itu, belum banyak pemain terjun ke usaha tersebut sementara permintaan pelanggannya membeludak. Dengan modal Rp 13 juta, Elik membeli mesin cetak dan merekrut dua karyawan. Usaha cetak Elik memfokuskan diri ke cetak poster, undangan pernikahan dan cetak buku katalog atau brosur.


Lantaran desain dan kualitas cetak Elik bagus, berbagai perusahaan seperti anak perusahaan Trakindo, Ford cabang Jakarta Pusat , serta Antara sering memakai jasanya. "Saya servis mereka dengan hasil cetak dan waktu cetak yang singkat serta harga yang kompetitif," ujar Elik.


Cara kerja percetakan Elik sangat sederhana. Elik tinggal menyodorkan desain cetakannya kepada kliennya serta menyodorkan kertas apa yang diminta kliennya. Lantas, untuk film cetakan dibuat di tempat lain dengan sistem rekanan. Terakhir, kertas dicetak di rekanan cetak Elik.


Dengan cara kerja seperti itu, Elik bisa menghemat ongkos produksi serta tetap mampu menggaji lima karyawannya. Serta, mampu berbagi rejeki dengan rekanan-rekanannya.


Untuk cetak poster warna, sekali pesan minimal 500 lembar poster. Harganya dipatok Rp 3500 per lembar A3. Dari cetak poster, Elik emndapat keuntungan Rp 2500 per lembar.


Untuk undangan, pemesanan minimal 150 lembar. Harganya mulai dari Rp 1000 sampai Rp 15.000 per lembar. Sementara untuk buku katalog atau brosur, harganya Rp 12.500 per 30 lembar ukuran separuh A4. Minimal ordernya 500 buku. Dari buku dan undangan, Elik mendapat margin sekitar 30%.


Elik mengaku, ketika teknologi cetak masih susah, saban hari dengan mudah dia mendapatkan sekitar empat pesanan sehari. Sekarang, ketika teknologi cetak makin murah dan mudah, mendapat dua pesanan saja sudah bagus.


Maka, Elik menyiasati penurunan bisnisnya dengan mempromosikan diri lewat internet. Dari situ, pesanan banyak mengalir. Agar lebih menarik minat calon pelanggan, Elik memberlakukan penawaran khusus tanpa uang panjar.


"Kita tinggal datangi calon klien dan presentasi harga di depan mereka," ujarnya. Sayangnya, promosi Elik masih sebatas daerah Jabodetabek dan Bandung.

sumber: kontan

Dinamisasi Teknologi Percetakan

Dari Masa Setelah Gutenberg Hingga Sekarang Teknologi percetakan terus berkembang dan berkembang. Setelah masa Gutenberg berakhir bukan berarti teknologi percetakan tak berkembang lagi dan jalan ditempat. Meskipun memakan waktu yang cukup lama yakni 400 tahun, perkembangan teknologi percetakan menunjukan progres tersendiri.

Di awal setelah berakhirnya masa Gutenberg, muncul beberapa perkembangan dari teknologi percetakan. Bermulai dari penemuan pertama alat yang diberi nama rotary press di tahun 1846. Dengan alat ini, diakhir abad ke 19, beragam penerbitan milik pribadi (single press) dapat mencetak puluh ribuan copi dalam satu jam. Selain rotary press, typesetting yang dikembangkan Gutenberg-pun masih dipakai.

Meskipun dengan beragam perkembangan. Typesetting semula memang digunakan dengan manual. Hal ini membuat sistem kerjanya sangat lambat. Di tahun 1890-an dibuatlah perkembangan terbaru dalam teknologi typesetting. Penemuan mesin lynotype, masih di tahun yang sama, membuat cara kerjanya lebih effisien Ilustrasi secara cetak, muncul pertama kali dalam majalah ketika Perang Civil terjadi di Amerika tahun sekitar tahun 1860-an. Meskipun demikian, hanya ada sedikit penerbitan saja yang membuat ilustrasi dalam produk penerbitannya. Hal ini karena bahan utama untuk membuat ilustrasi berasal dari kayu atau master piringan metal. Penggunaan kedua bahan ini membuat proses penerbitan ilustrasi berlangsung sangat lama. Masih di tahun yang sama, sejumlah orang menemukan penemun baru di Prancis, yakni penciptaan alat baru lithography dan photoengraving. Lithography berguna mempercepat ilustrasi pada sebuah percetakan. Hal ini dikarenakan ia mengganti bahan kayu dan metal dengan bahan kimia. Penemuan photoengraving sangat bermanfaat pada penggunaan lithography. Hal in karena photoengraving merupakan alat yang merubah bentuk bahan kimia kedalam piringan metal dengan proses potografi.

Setelah perang dunia kedua, teknologi percetakan terus berkembang. Perkembangannya ini tidak hanya terpaku pada kecepatan dan kuantitas yang dihasilkan. Tapi juga beragam hal diantarnya kualitas penerbitan. Di tahun 1960 muncul komputer sebagi teknologi baru yang revolusioner. Sepuluh tahun setelah kemunculannya, komputer mulai menggantikan fungsi typesetting sebagai teknologi utama dalam industri percetakan.

Komputer membuat beragam hal dalam proses penerbitan menjadi lebih mudah. Hal ini karena ia mendigital-kan proses penerbitan. Dengan komputer membuat layout menjadi lebih mudah. Banyak hal seperti men set, meletakan tex, memberi foto, dan meng crop foto menjadi lebih cepat. Penggunaan komputer ini terus berlanjut hingga sekarang. Dengan teknologi komputer industri percetakan menjadi sangat terbantu. Perkembangan teknologi komputer tentu mengarah pada internet, teknologi yang seakan menyatu dengan komputer. Jaringan yang dibuat oleh ARPANET ini seakan seakan tak mau ketinggalan untuk mewarnai perkembangan industri percetakan. Memang, internet tidak diciptakan dan tidak akan bisa mencetak dalam industri penerbitan. Akan tetapi, ia bisa berguna diantarnya untuk mempublikasikan apa yang telah dihasilkan oleh industri percetakan. Contohnya sebagai ajang mempublikasikan (termasuk menjual ) buku atau hasil pemerbitan lain.. Pernah masuk ke situs amazon.com? Atau Gramedia.com? Kedua situs ini berisi informasi tentang beragam buku yang terbit mulai dari buku baru hingga buku lama dan buku yang menjadi best seller. Selain itu, kita juga bisa melihat seklas tentang is buku-buku tersebut walaupun tidak semuanya disajikan. Biasanya, industri percetakan kecil, yang tidak memiliki modal yang begitu besar untuk memasarkan buku yang ia buat secara luas, meletakan buku-bukunya dalam internet agar dapat meraih pasar yang maksimal. Selain itu, dari segi pembaca atau pembeli buku. Sistem ini menawarkan kemudahan bagi mereka apalagi yang memiliki mobilitas tinggi sehingga tidak sempat untuk mendatangi toko buku. Kedua situs tersebut bak toko buku virtual bagi mereka yang memudahkan mereka menjangkau dan membeli buku yang mereka mau tanpa harus pergi ke toko buku. Pertanyan lain muncul. Bagaimana fungsi perpustakaan dimasa depan jika segala hal telah didigitalisaskan? Perpustakaan pun bisa mendigitalkan dirinya. Contoh yang dekat dengan kita diantaranya adalah Miriam Budiarjo Resource Center (MBRC). Perpustakaan FISIP UI ini telah mendigitalisasikan pelayanannya. Contohnya hanya dengan kata kunci, nama buku atau pengrangnya, kita dapat menemukan dengan mudah buku apa yang hendak kita baca dan kita cari. Meskipun masih banyak kekurangan di sama simi. Hal ini tentu sedikit membantu kita sebagai pengguna perpustakaan.

Dalam buku Media Now, digambarkan perkembangan perpustakaan dengan lebih wah lagi. Hanya dengan memasukan kata kunci dalam komputer perpustakaan, seseorang dapat langsung membaca baik artikel ataupun buku yang ia cari. Pers, Semakin Terjangkau Perkembangan teknologi percetakan tentunya berdampak sendiri bagi pers yang dekat dengan industri ini. Beragam inovasi dalam dunia percetakan telah membuat industri media massa semakin cepat dalam menyampaikan beragam beritanya ke masyarakat luas. Meskipun demikian, pers memiliki sejarah hidup sendiri.

Seperti industri penerbitan, pers terus berkembang dan berkembang. Sebelum ditemukannya telegrap, kecepatan penyampaian berita sangat lambat. Hal ini karena ketika itu, beragam cara penyampaian berita menggantungkan sirkulasi a dengan industri transportasi. Akibatnya, cepat lambatnya berita itu sampai ke penerima tergantung pada alat transportasi apa yang mereka gunakan. Di tahun 1848 akhirnya ditemukan telegrap. Memang telegrap menjadi kan proses penyampaian berita lebih mudah. Contohnya ketika perang dunia. Sekutu bisa menang karena mereka memanfatkan telegrap sebagai proses penyampai informasi. Penyampain berita juga semakn bertambah cepat akibat penemuan baru yakni telepon. Dengan memencet angka-angka tertentu saja, penemuan Alexander Graham Bell ini, bisa meyampaikan pesan dengan begitu singkatnya. Sekarang beragam teknologi diciptakan agar suatu pemberitaan dapat lebih dijangkau luas. Kini beragam alat yang memudahkan proses informasi bisa sitemukan dengan mudah apalagi dalam sebuah studio berita. Internet, sambungan dengan tv lokal, dan sambunagn dengan radio kepolisian merupakan contohnya. Hal ini mebuat reporter begitu mudah mendapatkan suatu bahan pemberitaan untuk disampaikan ke masyarakat luas. Selain itu, inovasi baru muncul. Inovasi ini dimulai oleh Tribune Company. Perusahaan ini menggabungkan beragam media yang sama dalam satu ruangan atau studio berita. Alhasil biaya dapat ditekan.

Perkembangan lain dalam dunia berita adalah munculnya bentuk baru dari jurnlisme yakni backpack jounalist. Disini, jurnalis membuat sendiri apa yang ingn ia beritakan mulai dati pengambilan gambar, package, sounbite, dll. Disini jurnalis yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan isi sebuah berita. Meskipun demikian, backpack journalis memiliki kekurangan tersendiri. Diantaranya editor menjadi tak berfungsi dengan baik Seperti dalam industri percetakan, komputer membawa dampak tersendiri dalam industri pers. Ia sangat membantu dalam pembuatan media massa mulai dari pembuatan layout hingga isi. Selain itu, satelit pun turut membantu mempercepat semua orang menjangklau sebuah berita. Satelit membuat sebuah perusahaan pers mampu mengirimkan beritanya ke beragam kota tempat cabangnya berada. Sehingga cabang perusahan persnya itu dapat mencetak sendiri apa isi dari majalah atau surat kabarnya sehingga tidak telat sampai ke pembacanya. Selain itu, majalah dan surat kabar atau industri pers lain pun ikut meletakan beragam isi pemberitaannya di dalam internet. Hal ini dibuat agar masyarakat luas bisa dengan mudah menjangkau isi media mereka. Lihat saja kcm (KOMPAS) atau media-indonesia.com. Keduanya adalah contoh media cetak yang meletakan pemberitaannya di televisi. Selain itu, media televisi pun tak mau ketinggalan. Di Indonesia, pemberitaan Liputan 6 bisa kita saksikan kembali hanya dengan mengakses liputan6.com d internet. Untuk media cetak, beberapa media massa yang memiliki situs sendiri di internet membuat tampilan yang sedikit atau bahkan berbeda dengan apa yang ada di media cetaknya. Meskipun demikian, media massa yang menginternetkan diri ini pun tak lupa mencantumkan edisi cetak mereka. Contohnya Tempo interaktif. Meskipun ada versi on-line, surat kabar ini pun tak lupa mencantumkan versi cetaknya. Ini semata-mata untuk menarik minat pembacanya.

sumber : waena

Antara Tinta, Kertas, dan Percetakan

BAU asap hio terasa ketika memasuki ruang kerja itu. Di sudut kiri tampak seperangkat tempat berdoa. Patung Dewi Kwan Im, delapan dewa, juga Guan Gong, ada di sana. Sebuah meja bundar berada di tengah dengan empat kursi. Di meja, ada tumpukan buku, kalender duduk, printing proof. Pada dinding terpampang lukisan Walisongo. Seorang pria masuk. Berkemeja batik coklat muda. Dia duduk dan menjawab deringan handphone Nokia 6.600 warna hitam.

Lalu dia meraih telepon di meja di belakangnya. “Tolong telepon Pak Guntur ya, tanyakan tentang kertas yang akan digunakan,” pintanya. Lalu dia mengangkat telepon lagi meminta disambungkan kepada seseorang.

“Kalau hubungan dengan pelanggan, tidak diingatkan nanti lupa, pan susah,” katanya pada saya.

“Dari ngurus kertas, complain klien, pelanggan yang tanya ini, itu...ya...inilah sehari-harinya.”

Erwin Indarto adalah Presiden Direktur PT Jayakarta Agung Offset, sebuah perusahaan cetak, di daerah Kota, satu bagian paling tua dari Batavia yang didirikan Jan Pieter Coen pada awal abad 17. Selama beberapa kali menemuinya, saya perhatikan Erwin selalu mengenakan batik sutera. “Saya suka sekali pakai batik,” katanya.

Ga tau, kenapa saya suka batik. Jadi, kalau ada pameran di mana gitu, saya dateng dan beli. Bulan ini, saya baru jahit tiga helai.”

Suatu saat dia jalan-jalan ke Tibet, menggunakan batik Mega Mendung. Seorang pedagang souvenir menyapanya. “Pak, bajunya bagus. Bisa tukar dengan souvenir saya,” pinta pedagang itu, ditirukan Erwin. “Mana bisa, saya mesti pakai baju apa?” jawab Erwin.

Di dalam hati dia bangga, baju batik khas Indonesia, disenangi di Tibet. “Pan, sekaligus membantu pengrajin batik itu.”

Erwin lahir di Jakarta, tahun 1950 dengan nama asli Sie Kek Djin. Dia anak kedua dari lima bersaudara, masing-masing, Kartono Sukardi, Erwin, Sie Siu Tin, Sie Mansur dan David. Pada 1950an, rumah keluarga Sie terletak di Jalan Jembatan Baru, samping Hotel Lusan, di sebelah Stasiun Kota. Hotel ini, yang banyak dipakai menginap orang-orang Tionghoa dari Surabaya, Banjarmasin dan sebagainya, milik kakek Erwin. Erwin kecil biasa main sekitar Kota.

Ayah mereka, Sie Coe Ha atau S. Subianto, mendirikan cikal bakal PT Jayakarta Agung Offset pada akhir 1960-an. Dia meninggal dunia tahun 2002. Setelah itu, perusahaan dipimpin anak tertua Kartono Sukardi. Akhir tahun 2006, ketika Kartono pensiun, Erwin menjabat sebagai presiden direktur.


KETIKA S. Subianto mulai bisnis percetakan, Jenderal Soeharto juga mulai berkuasa di Indonesia dengan dukungan Angkatan Darat. Dari Oktober 1965 hingga Maret 1966, mereka melakukan penumpasan terhadap golongan kiri serta pendukung Presiden Soekarno, yang imbasnya juga mengenai seluruh orang Tionghoa. Partai Komunis Indonesia dituduh berhubungan dengan Beijing dalam Gerakan 30 September di mana beberapa jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Tuduhan terhadap Beijing ini tak pernah dibuktikan. Namun tuduhan itu menimbulkan gelombang rasialisme terhadap orang Tionghoa di Indonesia.

Ketika Soeharto mulai berkuasa, orang Tionghoa harus “berasimilasi” dengan Indonesia. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan dirampas. Mereka tidak boleh menggunakan bahasa Mandarin. Agama Khong Hu Chu dinyatakan bukan “agama resmi.” Perayaan adat istiadat Tionghoa macam tarian naga dan hari Imlek juga dilarang.

Erwin Indarto dan abangnya, Kartono Sukardi, waktu itu masih remaja. Mereka sedang sekolah di Chinese school, Bandengan Utara. Kartono mulanya satu tingkat di atas Erwin. Tapi dia sempat tinggal kelas satu tahun hingga sama-sama kelas satu. Tahun 1966, sekolah mereka ditutup.

“Saya pun tak selesai sekolah. Chinese school tempat saya sekolah ditutup. Cuma sampai kelas satu,” cerita Erwin. Nama mereka sekeluarga pun diganti tanpa memakai marga Sie lagi.

Layaknya anak muda, mereka sebenarnya ingin melanjutkan sekolah. Namun, orang tuanya khawatir. Pada masa itu banyak demonstrasi di mana-mana. Ada demo Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia dan lain-lain. Ini salah satu masa paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Ada jutaan orang mati dibunuh. Jenderal Soeharto juga masih menghadapi sisa-sisa kekuatan Presiden Soekarno. Keluarga Sie memilih anak-anaknya tetap tinggal di rumah.

“Saya sebenarnya mau sekolah terus. Pan, teman-teman sekelas saya banyak yang selesai sekolahnya. Mereka melanjutkan ke luar. Saya sedih juga.”

Banyak di antara teman-temannya membeli ijazah kelulusan dan melanjutkan ke luar Indonesia. “Saya pikir, tak perlulah beli-beli ijazah, buat apa?”

Tahun 1968, ketika Soeharto sudah resmi menggantikan Soekarno, suasana politik mulai tenang. Sie senior atau Subianto menawari kedua putranya, Erwin dan Kartono, untuk membuka usaha percetakan. Dia ingin kedua anaknya membantu.

Subianto memiliki usaha jasa cetakan. NV Sukardi hanya menerima jasa cetakan dari pesanan-pesanan perusahaan negara . “Order-order yang kami dapatkan ini lalu di sub-kan lagi ke percetakan-percetakan kecil,” kata Kartono kepada saya.

Subianto juga memiliki perusahaan patungan printing kain di Bandung. Di sana dia joint bersama 10 temannya. Usahanya berjalan lancar. Sayang, pengelolaan manajemen kurang baik hingga Subianto berniat menarik kepemilikan di sana.

Dia melihat peluang bisnis percetakan menjanjikan. Apalagi, pesanan cetak yang mereka terima cukup banyak. Dia bertanya kesediaan kedua anak lelakinya, Kartono dan Erwin, untuk menjalankan bisnis percetakan itu. “Gimana kalau kita usaha percetakan sendiri? Kamu ada hobi ga di bidang itu?” tanya Subianto, ditirukan Kartono.

”Kalau memang you ada hasrat ke situ, jadi yang di Bandung, di salah satu perusahaan printing kain, mau mundurkan diri.”

“Kalau saya sih hobi-hobi aja,” jawab Kartono.

“Tapi kamu harus full time.”

Begitu juga Erwin. Dia menerima ajakan ayahnya. Subianto menarik modalnya dari Bandung dan membuka percetakan di Jakarta. Pada 12 Juni 1969, CV Pertjetakan Offset Djajakarta hadir dengan empat orang pendiri: S. Subianto, Kartono, Erwin dan seorang warga Hongkong, yang mereka panggil “Mr. Chin.” Awalnya mereka memiliki 30 karyawan.

Mr. Chin pernah bekerja di percetakan G. Kolff & Co., perusahaan modal Belanda, yang berdiri tahun 1932. G. Kolff & Co. merupakan salah satu percetakan terhalus di Batavia pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Ketika sengketa Indonesia dan Belanda meningkat sehubungan wilayah Papua, banyak perusahaan modal Belanda dijual atau diambil oleh negara Indonesia. G. Kolff & Co. perlahan-lahan tutup. Mr. Chin bergabung ke Djajakarta. Subianto dan anak-anaknya hormat pada Mr. Chin. Dia menguasai teknik, dari bagian produksi hingga listrik, dari pasang mesin dalam keadaan lepas sampai merakit mesin. “Semua bisa. Saya kerja sama-sama dia, ayah saya dan Erwin, berempat,” ungkap Kartono.

Kartono juga menimba ilmu di Pertjetakan Negara. Percetakan ini dimulai tahun 1809 dengan nama Lands Drukkerij. Tahun 1942, ketika Angkatan Darat Jepang menduduki Batavia, namanya diganti Gunseikanbu Inatsu Koja. Ketika revolusi kemerdekaan di Pulau Jawa meledak, namanya menjadi Pertjetakan Republik Indonesia. Pada 1950, beberapa saat sesudah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, namanya berganti menjadi Pertjetakan Negara Republik Indonesia.

Di percetakan itu, Kartono magang. Malam belajar teori percetakan, siang hari langsung praktik. “Saya catat semua pelajaran itu.” Gurunya bernama “Pak Hamid” yang mengepalai bagian reproduksi. Dia memberi pelajaran mengenai offset (cetak datar), cetak timbul. “Itu semua teorinya dikasih tau.”

Kartono belajar dari pertengahan 1968 sampai akhir 1969. Selesai dari Pertjetakan Negara, Kartono membantu ayahnya di CV Pertjetakan Offset Djajakarta.

Tahun-tahun awal perusahaan beroperasi, mereka mencetak kertas bungkus kado, terutama yang bermotif batik, cover buku motif batik, sampai box atau kemasan produk. Erwin muda biasa berurusan dengan batik. Mesin cetak pertama dari Tiongkok, ada tiga unit. Satu unit satu-warna dan dua unit dua-warna.

Pada 20 April 1970, perusahaan in berganti nama, dari CV Pertjetakan Offset Djajakarta menjadi PT Pangeran Djayakarta Offset. Namun pengadilan Jakarta melarang penggunaan kata “Pangeran Djajakarta.” Alasannya, nama itu sama dengan nama Jalan Pangeran Jayakarta, di mana perusahaan ini berkantor. Maka namanya berganti lagi menjadi PT Jayakarta Agung Offset pada 11 Agustus 1979.

Ketekunan mereka mulai mendapat kepercayaan pada tahun 1977. Soedarmadji Damais, waktu itu bekerja untuk dinas pemugaran Jakarta dan belakangan jadi kepala Museum Jakarta, mengatakan pada saya bahwa tahun itu, Gubernur Jakarta Ali Sadikin akan habis masa jabatannya. Antara 1966-1977, Ali Sadikin banyak membangun pusat-pusat kebudayaan, antara lain, Taman Ismail Marzuki, Museum Tekstil, Museum Bahari dan sebagainya.

Ali Sadikin minta Wastupraganta Tjong, yang mengepalai kantor tata bangunan dan pemugaran Jakarta serta atasan Damais, untuk menerbitkan dua buku kebudayaan. Satu buku soal pemerintahan Ali Sadikin. Satunya lagi buku pemerintahan pendahulunya: Walikota Suwirjo, Walikota Sjamsurizal, Walikota Sudiro, Gubernur Soemarno dan Gubernur Henk Ngantung. Damais, tentu saja, terlibat dalam pembuatan naskah buku.

Kedua buku ini didesain S. Prinka, redaktur disain majalah Tempo, yang sahamnya ikut dimiliki Yayasan Jaya Raya pimpinan Ali Sadikin. Jayakarta dipercaya mencetak buku Karya Jaya dan Gita Jaya. Buku Karya Jaya berisi masa pemerintahan lima kepala daerah Jakarta tahun 1945-1966. Gita Jaya berisi catatan kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin antara 1966 dan 1977. “Kedua buku dicetak dengan sangat bagus oleh Djayakarta Offset. Ketika saya melapor pada Pak Ali, kedua buku diterima dengan gembira,” ucap Damais.

Soedarmadji Damais mengenal Erwin Indarto sejak tahun 1976. Saat itu, Damais ditunjuk membuat katalog pameran seni lukis Indonesia di Balai Senirupa Jakarta. Acara itu dibuka Presiden Soeharto. Joop Ave, kepala protokol istana, yang belakangan jadi Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, minta kepada salah satu kenalannya, Wardiman Djojonegoro, yang ketika itu kepala biro pemerintahan Jakarta, untuk memakai perusahaan Erwin. “Pak Joop, bilang, kalau perlu percetakan, ini ada Erwin. Di situlah saya kenal dia,” kata Damais. Pada 1977, PT Jayakarta Agung Offset juga mencetak buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Lalu buku Istana Presiden Indonesia pada 1979. Pesanan cetak buku mulai banyak.

DALAM menjalankan perusahaan, Erwin Indarto memang lebih banyak menangani urusan dengan pihak luar. Jadi, di kalangan pelanggan, sosok Erwin lebih dikenal daripada Kartono, yang mengurus internal perusahaan, terutama percetakan.

Erwin berurusan dengan klien. Erwin menjalin perkawanan dengan Joop Ave, Soedarmadji Damais, Wardiman Djojonegoro –belakangan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—serta belasan disainer macam S. Prinka, Arief Tjahjono Abdi, Markoes Djadjadiningrat, Hermawan Tanzil, Lans Brahmantyo dan sebagainya. Namun, bukan berarti dia tak ikut mengawasi percetakan, dari pracetak sampai pasca cetakan. “Pekerjaan seperti ini pan memang harus teliti, jeli. Kalau salah sedikit pan kita jelek di mata pelanggan,” ujarnya.

“Biasanya ada yang sudah siap cetak, setelah saya lihat proof-nya, ada yang warna kuranglah, ukuran kuranglah. Kalau sudah masuk cetak, pan repot,” kata Erwin.

Kerja di percetakan ini tidak mudah. Mereka harus memenuhi keinginan pelanggan dengan cetakan bermutu. Kadang, kesulitan muncul jika berhadapan dengan pelanggan yang tak mengerti grafika tapi merasa tahu soal ketidaksamaan antara hasil cetak dan gambar asli.

Masalah ini pernah dialami Kartono. Seorang konsumen membawa separasi film. “Dia kasih ke repro, terima jadi film separasi, proof-nya bagus tapi kertasnya di atas hard paper. Cuma ngorder fancy yang daya serapnya tinggi. Itu ga akan bisa. Hasilnya ga akan ketemu.”

Hal-hal seperti ini, kata Kartono, banyak konsumen tidak mengerti. “Ya, ga paham grafika, dia salahin percetakan. Saya punya gambar bagus, kenapa ini ga bagus, belepotan gini? Ya... ga taufancy paper harusnya fancy-nya kasih ke tukang proof.”

Dalam percetakan, masalah seperti ini memang sering muncul. “Namanya pelanggan, kita pan

Kejelian dan ketelitian tak hanya ketika produksi, tapi dari pra sampai pasca produksi. Dari saat menerima order, penentuan kertas, tinta sampai produk jadi.

PT Jayakarta Agung Offset punya bagian pengawasan mutu (quality control). Setiap buku selesai cetak dan dijilid, masuk ke bagian ini di mana sekelompok karyawati bertugas memeriksa buku demi buku, halaman demi halaman. Mereka melakukan sortir. Bila semua tanpa cacat, pada bagian akhir buku yang disisipkan kertas kecil bertuliskan nama si pengawas mutu.

Contohnya, saya membuka buku Rumah Bangsa, Istana-istana Presiden Republik Indonesia Koleksi dan Benda Seni. Di bagian akhir buku tebal ini ada kertas berukuran 2x5 cm. Di sana tertulis: “JAO PT, controlled by, Makmumi.” Makmumi salah seorang pengawas mutu cetakan.

“Kadang-kadang kan staf ada yang lolos, jadi di setiap buku diberi nama bagian belakangnya, siapa yang menyortir . Kalau buku itu tidak baik dia yang bertanggung jawab,” ucap Kartono.

Percetakan lain, jarang yang punya bagian kontrol mutu. “Ini sangat bermanfaat sekali. Jadi mereka kerja sangat berhati-hati. Dia tahu ini buku-buku berharga, jadi tidak boleh sembarangan. Kita ga malu cantumkan ini, berarti kita teliti.”

Kadang, orang tidak mengerti risiko mencetak buku itu. “Orang bikin murah itu banyak tapi bagus, ga banyak. Di Indonesia itu bisa dihitung jari percetakan yang bagus,” kata Kartono.

Selain mengurus pemasaran, Erwin mengepalai urusan kontrol kualitas. “Saya salut sama adek saya. Dia kalau quality control sangat ketat. Kalau hasil tidak bagus maka dia bilang ke klien dan diulang lagi. Kasih masukan. Bayangkan saja, kalau hasil jilidnya lepas, waduh.... cilaka bisa.”

Memilih kertas perlu didiskusikan dengan pelanggan terlebih dahulu. Jayakarta sebagian besar menggunakan kertas impor karena memang lebih bagus. Harga kertas lokal dan impor, kata Erwin, tak berbeda jauh. Namun kertas impor kualitasnya terjamin. “Mau bagaimana lagi, pan

Dalam menerima order, Erwin juga berhati-hati. Dia minta setiap bagian saling berkoordinasi, dari marketing sampai produksi. Kadang, di awal tahun, order banyak dan tak jarang antri. Bisa terjadi kekurangan kertas. Jika ini terjadi, Erwin akan berterus-terang dengan klien. Biasanya, klien jauh hari sudah memberitahu percetakan, kertas apa yang digunakan hingga bisa disediakan lebih dulu.

“Namun, bisa juga order ditolak jika memang waktu dan jumlah tidak memadai. Ini juga harus jeli. Pan kita khawatir juga kalau tidak bisa memenuhi pesanan klien tepat waktu.”

Deniek G. Sukarya, seorang fotografer asal Bali, punya beberapa pengalaman dengan Erwin. “Biasanya saya tidak lihat ada kekurangan dari hasil cetakan, malah dia yang kasih tahu. Dia sangat memperhatikan mutu percetakannya,” kata Deniek.

Buku Deniek antara lain Enchanted Moments, berbahasa Inggris setebal 216 halaman dan dicetak September 1999, berupa kumpulan foto pemandangan alam. Ada juga buku Indonesia: Harmony in Diversity, yang dibuat menyambut 40 tahun perusahaan farmasi PT Kalbe Farma, selesai cetak September 2006. “Di sana, harga cetakan itu berimbang dengan kualitas yang kita dapatkan,” kata Deniek.

John H. McGlynn dari Yayasan Lontar juga kerap bekerjasama dengan percetakan Jayakarta. Yayasan Lontar didirikan sastrawan Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam dan McGlynn tahun 1987 guna mempromosikan Indonesia melalui penterjemahan dan penerbitan sastra Indonesia ke bahasa Inggris. “Yang kami pentingkan kualitas dan bukan sepenuhnya harga karena audiens kami biasa membeli buku luar negeri,” kata McGlynn.

“Salah satu hal yang saya senangi, kebiasaan staf Jayakarta membicarakan penampilan buku sebelum pekerjaan dimulai. Kalau mereka berpendapat penampilan buku Lontar akan lebih bagus, misalnya, dipakai kertas atau warna tinta lain, dari yang kami tentukan, mereka langsung bicarakan hal ini sama kami.”

Sebelum akhir 1990-an, semua buku Lontar dicetak Jayakarta. Sekarang memang banyak percetakan muncul, namun baru satu atau dua perusahaan, misalnya PT Indonesia Printer, yang bersaing dengan Jayakarta. “Sekarang kebanyakan buku yang kami cetak di Jayakarta adalah buku bergambar berukuran besar,” kata McGlynn.

“Jelas, they take pride in their work!”

Mark Hanusz dari perusahaan penerbitan buku Equinox Publishing mengatakan, “Jayakarta is far and away the best printer for hardcover, illustrated books in Indonesia. I wouldn’t consider using anyone else.”

Menurut Soedarmadji Damais, “Khusus keluarga saya, dia (Erwin) sampai kenal ibu saya, adek saya, semua. Tetapi juga saya tau sama keluarga lain. Contoh, kalau salah seorang keluarga akrab, buat buku tahlilan untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal, baik tujuh hari, 40 hari sampai 1.000 hari, Erwin selalu ringan tangan mencetak buku-buku tersebut dengan baik. Dan sering kali cuma-cuma. Itu hebatnya Erwin."

SUATU siang di dalam ruang rapat PT Jayakarta Agung Offset, Erwin sedang berbincang-bincang dengan Kepala Bagian Pra Cetak, Jo “Pocu” Hintarta. Mereka membicarakan rencana wawancara soal perusahaan mereka dengan saya. Tak lama kemudian masuk stafnya, berbisik sesaat pada Erwin. “Coba bawa ke sini hasilnya,” pinta Erwin.

Staf pun membawa hasil proof satu lembar kertas katalog Balai Lelang Seni Larasati dengan kurator Amir Sidharta. Kami semua memperhatikan hasil proof. Ternyata, ada garis pinggir terlalu dekat dengan gambar. “Pan tadi udah saya bilang, lihat lagi, udah bener blom.” Erwin mengatakan pada stafnya. “Benerin lagi.”

Pra cetak adalah bagian vital dari sebuah percetakan. Dan Pocu, selain Kartono, adalah orang yang bisa cerita proses pertumbuhan divisi pra cetak Jayakarta. Pocu masuk Jayakarta diajak Subianto dan Kartono. Awalnya, dia ragu karena masih mengurusi dagang bahan makanan dan restoran. Setelah dibujuk, Pocu pun bersedia. Oktober 1969 dia masuk Jayakarta. “Awalnya, saya tidak full di sana. Setelah tiga tahun saya diminta full time,” kenang Pocu.

Pocu sempat sekolah fotografi di Gedung Chandra Naya tahun 1971. Gedung tua ini terletak di Jalan Gajah Mada No. 188. Dulu, milik Mayor Khouw Kim An, pemimpin masyarakat Tionghoa masa Hindia Belanda. Pada 1957, namanya diganti Chandra Naya. Sampai 1980-an, gedung ini menjadi tempat perkumpulan Tionghoa Sin Min Hui. Ada juga kegiatan sosial diadakan di Chandra Naya, termasuk sekolah fotografi.

Pocu cinta dengan dunia repro film. “Saya minta cuti setengah tahun untuk keperluan sekolah di Jepang di bidang repro sekitar tahun 1975-an.” Setelah kembali dari Jepang, Pocu lalu mengikuti pendidikan di Percetakan Negara, sekitar enam bulan. “Di Jayakarta, saya terus belajar dengan Mr. Chin,” kata Pocu.

Pada tahun 1960-an sampai pertengahan 1970-an, membuat satu film separasi butuh waktu sampai enam jam. Membuat film menggunakan kamera gantung, yang harus ditutup pakai kain hitam. Produksi film harus di ruang khusus untuk melihat ketajaman maupun ukuran. Gelap. Semua lampu dimatikan, yang boleh hanya lampu berwarna merah.

“Masih diputer pake tangan. Saya beli dari BUMN yang sudah tidak pake punya. Dijual. Ya..udah ga dipake. Udah di gudang. Semua pake tangan ga ada tombol listrik. Udah gitu pake kerudung punya. Kayak di studio,” tutur Kartono.

Setelah dibuat film dengan kamera gantung, baru dibikinkan layout. Bikin pola di kartun tebal (hard cartoon), dihitung ukuran kertas untuk cetak biru (blue print). Layout selesai. Lalu memasang semacam plastik yang ditempel dengan selotip. Film ditempel terbalik dan dimasukkan ke dalam mesin copier buat penyinaran. Setelah itu, baru dicuci, obatnya amoniak, yang dimasukkan ke dalam drum besar. Kertas blue print digulung dimasukkan dalam drum. Lalu ditutup beberapa menit, akan muncul teks gambar. Teks gambar ini diambil dan diberikan kepada pelanggan. Untuk dilihat, apakah teks dan posisi buku sudah sesuai atau belum. Jika sudah setuju barulah dibikin plat-nya. Buat plat disiapkan seng kosong.

Sebuah mesin besar berputar, plat seng kosong dijepit, lalu gundu (kelereng) ditabur di atas plat. “Terus digoyang-goyang, didorong ke depan, belakang, depan, belakang. Nanti tinggal ditaburin

Pembuatan plat sekitar satu jam. “Kalau plat sudah bagus, kita bikin lagi obat untuk penyinaran. Itu bikin sendiri, oplos sendiri. Oplos macem-macem. Dicampur yang diajari guru waktu di Pertjetakan Negara.”

Mesin dalam keadaan berputar, plat kosong diletakkan di atas mesin. Lalu obat penyinaran pun dituangkan pelahan, tidak boleh terlalu tinggi. Jaraknya mesti pendek, kalau terlalu tinggi akan terjadi busa. “Busa sedikit, cacat. Sudah tidak bisa pakai. Aduh... sulit sekali dulu. Sedikit saja salah... rasanya botak,” ucap Kartono.

Setelah seng plat licin, dimasukkan ke dalam oven pengering sekitar 10 menit. Kemudian diekspose, kira-kira setengah jam. Gambar pun keluar.

“Itu eksposenya saja bukan pake lampu tapi arang. Tiga arang. Dari arangnya itu menyala api, lalu terbakar dan keluar sinar. Itu zaman kuno sekali. Sekarang kan tinggal pakai, ditembak. Cuci langsung keluar gambar.”

Kadang, di tengah pekerjaan berlangsung, obat habis. Kartono pun segera mengambil sepeda motor dan melaju ke pasar loak (barang bekas) di kawasan Manggarai, mencari ramuan obat. “Gitu deh zaman dulu, susah semua.”

Setelah gambar muncul langsung direndam dalam air keras dan dipasang terbalik. Setelah terbuka, diberi obat kemudian diberi tinta hitam. Diangkat sebentar, direndam lagi pakai air keras. Dicuci lagi sekitar satu jam lebih. Bagian yang tidak kena sinar akan rontok. Plat pun terisi. “Wah deh dulu. Satu plat aja bisa dua tiga jam. Kalau sekarang cuma bicara menit. Satu plat 10 menit jadi.”

Dulu, kalau membuat plat, mesti sangat hati-hati sekali. Sebab, kalau salah, menurut Pocu, diulang dari awal. “Waduh, makan waktu lama sekali.” Satu kali bikin file separasi saja sekitar enam jam, masukin screen untuk membuat dotgen (bintik-bintik yang membentuk warna), bikin blue print, dan plat-nya.

Tahun 1975, baru semi komputer. Mulai tahun ini, teknologi proof manual sudah bisa dibuat berwarna. Sudah ada mesin proof yang menggunakan lor tinta. Mesin macam gulungan besar berjalan mengangkut tinta yang nempel ke kertas. “Ini sudah warna. Tiap kali naik, satu warna,” ucap Pocu. Proof warna ini penting agar ketika percetakan berjalan, yang jumlahnya besar, mutu warna sudah bisa diperhitungkan sebelumnya.

SEPARASI warna merupakan kendala percetakan di Jakarta sebelum era komputer pada 1990an. Dunia warna adalah dunia tanpa batas. Seorang pencetak selalu tertantang bila mencetak materi berwarna, apalagi bila materi itu datang dari pelukis jagoan, yang bisa mencampur cat dan menciptakan warna, yang cocok untuk karyanya. Bagaimana cara mengubah dunia tanpa batas itu dalam separasi tiga atau empat warna? Entah dengan model warna CMY (cyan, magenta, yellow) atau model RGB (red, green, blue)? Biasanya, suatu warna bisa dipisah dalam tiga komponen cyan, magenta dan kuning, dicetak di atas kertas putih, plus warna hitam sebagai kuncinya (key) –kombinasi ini secara matematis disebut CMYK.

Kartono dan Pocu berusaha mencari jawaban model CMYK. Pada 1970an, saat memulai usaha, percetakan Jayakarta menggunakan satu unit mesin satu-warna dan dua mesin dua-warna. Masih tertinggal dari percetakan yang ada kala itu. Bahkan mereka sempat diejek-ejek salah satu percetakan ketika menggunakan mesin buatan Shanghai.

“’Bagaimana mungkin mesin cetak yang kurang baik bisa menghasilkan produk yang baik?’ Saya ingat itu. Hingga perkataan ini cambuk yang membuat saya betul-betul mau menunjukkan dan memberikan mutu yang baik dengan mesin yang ada,” kata Kartono.

Kartono sadar mesinnya tak bisa bersaing. Namun, dia tahu, mesin yang baik tanpa didukung film yang baik, hasilnya pun tak akan sempurna. Mereka mencari jalan keluar. “Filmnya saya cari yang paling baik,” kata Kartono.

Caranya, mereka mengirim film ke Hongkong walau di Jakarta mereka sudah mempekerjakan karyawan asal Hongkong. “Tetap saya kirim ke Dai Nippon Printing, printing yang ada di Hongkong. Nah, melalui dia, kita dibantu separasi film.”

Kartono belajar lagi ke perusahaan Kodak di Singapura. Di sana dia mendalami ilmu pewarnaan. Lalu, belajar lagi ke Hongkong.

“Saya diantar teman untuk belajar finishing. Bagaimana penjilidan buku yang baik. Kembali dari Hongkong diajak lagi untuk melihat percetakan Singapura yang sudah besar dan penjilidan bagus semua. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa finishing itu penting untuk percetakan. Dan kala separasi itu sangat penting karena jantungnya offset.”

Belakangan, Kartono melihat kualitas film Dai Nippon Printing Jepang lebih bagus dari Dai Nippon Hongkong. Mengapa cetakan Jepang dengan Hongkong, berbeda? Padahal sama-sama perusahaan Jepang juga.

Katono berpikir keras. Lalu, dia memutuskan mengirim film dari Hongkong ke Jepang. Meskipun waktunya agak lama, sekitar satu bulan, ada beberapa konsumen besar yang ingin mutu cetak buku terbaik. Mereka memberikan waktu cukup.

Ternyata hasil film Jepang tak sesuai harapan. Film yang dicetak dari Jepang dengan film yang diterima, tidak sama hasilnya. “Itu ada rahasia perusahaan masing-masing. Mereka merahasiakan agar tekniknya tidak dikuasai bangsa lain. Film yang di-proof ke kita bagus tapi film yang dikirim ke kita tidak sama.”

Kartono coba mencetak, namun hasilnya tak pernah sama dengan cetakan Jepang. Tak putus asa, Kartono terus mencari penyebabnya. “Belakangan saya liat terus, hasil dan film dengan cetakannya. Baru tahu, setelah diteliti ternyata film dan cetakan tidak sama karena film dibikin lebih warnanya, sedangkan di cetak agak dikurangi.”

“Bagaimana kita bisa nguber. Kita kan ikutin cetakannya. Itu ada teknik tertentu yang akhirnya ketemu.”

Jayakarta pun mampu membuktikan kepada pelanggan, meskipun menggunakan mesin sederhana, tapi mutu cetak baik. “Kita bisa berikan film yang bagus.”

Pada 1990an, era digital masuk. Proses separasi melalui komputer tapi masih menggunakan plat seng. Teknologi ini dikenal dengan nama computer to file (CTF). Halaman per halaman data digital dikonversi menjadi lembar film, kemudian dibuat plat-nya sebagai acuan cetak. “Sistem ini pun masih dipakai sampai sekarang di Jayakarta. Kebanyakan percetakan masih pakai sistem ini.”

Pada tahun 2002, Jayakarta membeli teknologi paling mutakhir: computer to plate (CTP). Dalam sistem ini, proses pembuatan image (citra) pada plat dilakukan tanpa melewati proses pembuatan film. Citra atau gambar langsung dicetak pada plat langsung dari komputer.

“Dengan CTP, jauh lebih mudah,” kata Pocu. Bahkan, pelanggan bisa mendesain materi sendiri, dan menyerahkan ke percetakan. Di percetakan tinggal layout, buat proof. Lalu diserahkan kepada pelanggan untuk koreksi. Jika setuju, masuk proses selanjutnya. Membuat plat dan siap cetak.

Cholid, karyawan pra cetak, mengatakan pada saya bahwa CTP bikin pekerjaan jauh lebih cepat. Cholid sudah bekerja selama 14 tahun di Jayakarta. Dia mencontohkan layout buku vertikal lipatan 16. Buka master pages, pilih ukuran buku dan diformat. “Sudah selesai.” Lalu, file dibuka dan masukkan ke mounting, otomatis membentuk format semula. “Pilih warna, tinggal request. Mau cetak berapa buku, di-klik aja. Gampang,” ucapnya, seraya memperagakan di komputernya.

Sartina, rekan Cholid, mengatakan “Asyiknya, mau apa-apa tinggal klik saja.”

Dari mounting, lalu ke mesin signa metaproof, sebuah mesin untuk cetak proof. “Setelah print, kita lihatkan lagi pada pelanggan. Bagaimana? Apakah sudah sesuai? Jika ada yang kurang bisa diperbaiki sebelum masuk mesin pembuat plat,” jelas Cholid.

Setelah proof dan pelanggan setuju, mulai masuk meta to setter. Ini sebuah mesin pro face digital yang memiliki monitor. Pengaturan dilakukan melalui komputer. Setelah diatur, mesin pun bergerak. Perlahan-lahan plat kering keluar dari mesin.

Sampai di sana belum selesai. Plat harus naik meja koreksi sesaat sebelum pindah ke mesin cetak. Dicek, apakah plat sudah sesuai atau belum. Saya perhatikan Topik Hidayat, operator mesin, anak buah Pocu, meletakkan plat di atas meja dan menempelkan alat koreksi densitometer di atas plat.

“Bisa keliatan, apakah plat bersih atau ga? Kalibrasi warna sudah cocok atau belum? Ukuran, persen output apakah sudah benar? Bisa terlihat di sana jika ada yang kurang,” jelas Topik. CMYK biasa diukur dengan persentase setiap komponen. Cyan sekian persen. Magenta sekian persen.

Mesti digital, masalah dan kesulitan tetap ada. Contoh, desain datang dari klien dan percetakan tinggal menata. Jika, desain jelas dan rapi mungkin tak masalah. “Kadang, karena bukan kita yang mengerjakan dari awal, kita takut mengutak atik… eh kadang salah, jadi sasaran complain,” ucap Cholid.

Masalah mesin, kata Topik, juga bisa terjadi. Misal, mesin tiba-tiba error atau rusak. Teknisi dipanggil. “Kalau gini, kita akan liat. Jika rusaknya ringan dan bisa ditangani teknisi sendiri. Kadang, jika sulit kita panggil teknisi dari perusahaan (mesin) ini.”

Bagi Pocu dan anak buahnya, complain pelanggan merupakan bagian pekerjaan mereka. Mereka berusaha hasil kerja sesuai keinginan konsumen. Secara umum, pelanggan, seperti penerbit, desainer, fotografer bisa bekerja sama dengan baik. “Mereka ikut mengoreksi sama-sama, mudah dihubungi, jika kami perlu bertanya. Kita pun bisa beri usul. Menyenangkan,” ucap Pocu.

Pocu, Cholid, Topik dan Sartina senang jika pekerjaan bagus dan bisa diterima pelanggan.


MESIN Ryobi terus berputar mengeluarkan bunyi gemuruh. Helai demi helai kertas keluar dari mesin lima-warna asal Jepang itu. Pada, layar monitor tertera 13.500, yang menunjukkan besaran kapasitas produksi per jam. Di bagian bawah angka terus berganti… 71458… 88075….

Saya sering melihat-lihat mesin-mesin Jayakarta. “Angka itu menunjukkan banyaknya kertas yang sudah dicetak,” kata operator mesin Pocen.

Pocen berumur 52 tahun. Dia sudah bekerja di Jayakarta 1970-an. Sekarang, Pocen bisa bekerja dengan cepat. Mencetak langsung lima warna. Dulu, tahun 1970-an, mesin baru bisa hitam putih. “Menghidupkannya pun pakai tangan. Digerak-gerakkan.”

Pocen mengatakan dia banyak belajar dari percetakan ini. Nasehat dan kritik biasanya datang dari Erwin. “Ya, kalau saya salah, Pak Erwin kasih tau. Kritik saya. Tapi saya senang, karena dia omelin saya, tapi ada jalan keluarnya,” tutur Pocen.

Mesin Shanghai model satu-warna dan dua-warna milik Jayakarta, yang dipakai sejak 1969, kapasitasnya hanya 3.000 lembar per jam. Mau menyetel warna, membutuhkan waktu sampai satu jam. Sekarang, dengan mesin-mesin baru Jerman (Heidelberg dan Roland) serta Jepang (Mitsubishi dan Ryobi), setel 15-20 menit sudah selesai. Bahkan, ketika percetakan lain masih menggunakan empat warna, Jayakarta sudah memiliki mesin lima dan enam warna.

Ada kejadian awal 1980an, yang menyebabkan Jayakarta beralih dari mesin Heidelberg ke Rolland, keduanya produksi Jerman. Ketika itu, Jayakarta membeli kamera produksi Jerman dari distributor Heidelberg di Jakarta untuk separasi warna. Sampai di Jakarta, dipasang dan dipakai hanya bisa hitam putih. Gambar yang muncul berbayang ganda.

Saat klaim kepada distributor Heidelberg, yang sudah dibayar 80 persen, tak ada tindakan apa-apa. Merasa mereka tidak bertanggung jawab, timbul perselisihan. Putus hubungan.

“Barang yang sudah jadi ya udah kita beli. Cuma kita ga lanjut lagi beli mesin dia. Akhirnya kita ke Rolland,” kata Kartono.

Setelah pindah ke Rolland, perusahaan mendapatkan empat teknisi dari Hongkong. Satu menjadi kepala produksi merangkap operator, dua orang operator mesin, satu lagi bagian repro.

Kartono memutuskan membeli mesin Rolland Record (enam-warna) pada 1996 dan Ryobi (lima-warna) pada 2005. Persaingan bisnis cetak makin ketat. “Mereka [pesaing] ketawain saya, cetak empat-warna, beli enam-warna.”

Bagi Kartono, yang paling penting dari percetakan itu mutu dan biaya. Jika, menggunakan empat-warna, untuk mencetak enam-warna, kertasnya harus naik dua kali.

“Naik dua kali berarti kerusakan mungkin dua kali juga. Kalau naik satu kali kerusakan kemungkinan satu kali, jadi cost bisa lebih murah, bisa ditekan. Kecepatan dan cost murah. Itu yang mereka tidak menyadari. Jayakarta sering mendapatkan pekerjaan yang lebih (dari) empat-warna,” katanya.

Kini bagian produksi dikepalai Asianto. Jadi, sebuah pekerjaan cetak arusnya pindah dari bagian Pocu ke bagian Asianto.

Asianto masuk Jayakarta pada Desember 1977. Awalnya, dia sebagai kepala pembukuan, sekitar tiga tahun, lalu promosi ke pemasaran. Ketika di pemasaran, dia merangkap bagian kalkulasi. “Saya harus bisa kalkulasi harga dengan klien. Saya senang di bagian ini karena banyak berhubungan dengan pihak luar. Jadi, kita tau apa keinginan klien,” kata Asianto.

Ada juga sedihnya, saat menghadapi tekanan klien. “Klien minta cepat, lalu kita ke produksi, tanya apakah bisa cepat,” tuturnya. Asianto jadi tahu pekerjaan produksi. Awal 1980-an, ada karyawan produksi yang keluar, dia diminta pindah ke sana. Asianto setuju. Ketika kepala produksi, Mr. Chin, pensiun, Asianto menggantikan posisinya.

Masa-masa yang paling berat ketika menghadapi batas waktu cetak dan order banyak. Mau tak mau harus ada lembur. “Nguber deadline, kalau udah tau kerjaan bakal ga selesai maka dilemburkan. Ini harus dihitung dengan teliti. Perhitungan harus cermat.”

Bagian produksi meliputi proses dari materi masuk mesin cetak sampai finishing. “Finishing-nya semua diperhatikan. Meskipun di Jayakarta tidak ada mesin finishing otomatis namun kualitas jilid tak diragukan,” kata Kartono. Bahkan, mereka merakit sendiri. “Yang belum ada, di Jakarta, saya tembak semua dari luar. Saya beli, modifikasi sendiri. Sampai ada ini hari.”

Pekerjaan percetakan, antara satu bagian dan bagian lain, saling terkait. Hasil cetakan ditentukan dari pesanan masuk sampai barang jadi. “Jadi, koordinasi awal dari marketing.” Bagian pemasaran, jika mau menerima pesanan biasanya langsung menghubungi produksi.

Pada masing-masing bagian mempunyai agenda, berupa buku catatan pekerjaan. Di dalam buku inilah, interaksi antar bagian terlihat. Jika pekerjaan bisa selesai tepat waktu dan konsumen senang, bagi Asianto, menjadi satu kebanggaan.


TAHUN 1997, krisis ekonomi dan moneter menghantam Indonesia. Nilai rupiah terpuruk, dari Rp2.400 per dollar AS, naik drastis sekitar Rp23.000 ketika Presiden Soeharto menentukan B.J. Habibie sebagai wakilnya. Pebisnis pun kelimpungan. Pinjaman membengkak. Harga-harga naik. Begitu juga bisnis percetakan. Masa itu, banyak percetakan menjual mesin-mesin mereka.

Jayakarta juga mengalami kesulitan. Pesanan buku berkurang, harga material, seperti kertas dan tinta impor melonjak. “Kita pan masih tergantung fluktuasi dollar. Saat itu kertas naik. Sulit deh,” ucap Erwin.

Bahkan, tiga orang tenaga ahli dari Hongkong, harus pulang kampung karena gaji mahal. “Kita ga mampu, mereka dibayar pake dollar, saat itu dolar sampai Rp15.000-an,” kata Kartono.

Namun percetakan Jayakarta mampu bertahan. “Meskipun berat dan tersendat-sendat, kita masih untung. Ga sampai jual-jual mesin. Masih bisa jalan walau berat, order berkurang,” ujar Erwin.

Pada Mei 1998, kerusuhan rasial anti-Tionghoa meledak di Ende, Solo, Medan Jakarta dan beberapa daerah lain. Ribuan orang mati terbakar di beberapa mall Jakarta. Ribuan toko-toko dan perusahaan-perusahaan milik “non-pribumi” dihancurkan massa. Pengrusakan membabi-buta. Orang Tionghoa, sekali lagi, menjadi sasaran, terutama di Jakarta dan Surakarta.

Saat itu, kawasan Kota menjadi amuk massa. Mobil-mobil dibakar. Api berkobar di mana-mana. Erwin, Kartono, Pocu, Asianto dan lainnya merasakan suasana menakutkan. “Saya pulang ke rumah diantar pake motor sama staf. Lewat jalan kecil. Saya masih harus pake tutup kepala biar ga ketahuan,” cerita Erwin.

PT Jayakarta Agung Offset pun terpaksa berhenti operasi sekitar seminggu. Karyawan takut ke luar rumah.

Asianto, ketika kerusuhan pulang ke rumah di daerah Tomang, menggunakan ojek motor. “Mobil saya tinggal di depan, lalu jalan kaki cari ojek,” tuturnya.

Terjadi keterlambatan kerja, tapi pelanggan dapat memahami keadaan ini. Kondisi sulit ini, katanya, berangsur membaik dalam dua tahun. “Yah, keadaan membaik, mulai ada masup cetak buku,” kata Erwin.

Di masa yang sulit itu, Jayakarta masih mendapatkan penghargaan dari bank sebagai nasabah terbaik. Nasabah yang tidak menunggak membayar utang-utangnya. Saat krisis itu, banyak kredit macet. “Kita bayar, 40 persen bunganya kita bayar. Ga pernah nunggak,” ucap Kartono.

Beberapa tahun sesudah jatuhnya Soeharto, keadaan Jayakarta mulai tenang. Kartono memilih pensiun Oktober 2006. “Capek, saya serahin adek saja. Kan sudah ada keponakan di sini, adik di sini. Jadi sudah bisa jalan tanpa saya. Sudah bisa dilepas,” kata Kartono.

Kartono memulai bisnis baru, distributor kertas. “Ga terlalu capek. Kalau percetakan waktu sempit, kita tidak bisa tidur. Pak Erwin itu kadang pukul 5 subuh masih di kantor nungguin materi yang mau diambil besok. Rasa tanggung jawab mesti penuh.”

Pekerjaan Erwin makin bertambah. Dia mengurus luar dan dalam. Awal tahun ini, Erwin menjalani operasi mata di Singapura. “Sekarang mata saya sudah baikan. Kalau ga pan susah,” ucap Erwin. Kakak beradik ini berharap, bisnis yang mereka bangun dari kecil, sampai sebesar sekarang, dapat terjaga. “Ini usaha peninggalan orang tua.”

Note: Tulisan ini dibuat untuk profil perusahaan PT Jayakarta Agung Offset. Ia berupa majalah yang berisi beberapa artikel dan foto terkait Jayakarta. ke kita pake kertas yang bikin filmnya salah. Sebetulnya kalau dia mau bikin harus sabar. Kepuasan klien yang paling diutamakan,” ucap Erwin. pasir. Terus gitu,” cerita Kartono. Mesinnya digerakkan motor tempel dari mobil bekas yang diambil dinamonya. Arusnya dibalik. cara itu, pusing sekali
memang kertas lokal kurang. Mutunya tidak stabil. Mutunya belang-belang. Jadi, bilang ke konsumen. Jika klien mau kertas lokal, tidak apa-apa. Kita berikan alternatif.”

sumber: ariestory

Selasa, 17 Maret 2009

Standar Cetak; Siapakah Yang Beruntung?

Standar cetak kadang menjadi kontroversi bagi sebagian pelaku industri cetak, karena tidak dilihat secara menyeluruh dari aspek industri cetak. Namun yang pasti standard cetak saat ini sudah menjadi tren industri cetak dan kebutuhan bagi para pelaku cetak, terlebih barang cetak sudah menjadi suatu barang komoditi dalam artian diproduksi masal - karena jumlah besar dan dimultiplikasi secara konsisten.

Bagi anda "print buyer" dan percetakan, maka standar cetak baik yang ditetapkan oleh ISO, SNAP, SWOP atau GRACoL patut ditilik dan dijadikan referensi.

Celaan atas standard cetak

Disamping argumen negatif yang mencela bahwa standar cetak akan membuat barang cetak menjadi barang komoditi, atau mengurangi nilai tambah. Ada 2 celaan lainnya yang umum kita dengar.

Pertama, standar cetak membuat kualitas cetak menjadi hal yang tidak penting atau kritis lagi, sebab semua orang atau pihak dapat membuat atau mengkopinya dengan gampang. Kedua, yang pada akhirnya standar cetak menghilangkan aspek unik suatu percetakan terhadap para pesaing lainnya.

Dunia cetak sudah lama bergerak dari seni menjadi industri, dengan kata lain tidaklah relevan lagi mendebat bahwa standar cetak menggiring barang cetak menjadi komoditi.

Standar cetak pada kenyataannya tidak membuat seluruh aspek percetak menjadi standar. Secara praktis standar cetak berfokus pada hal yang pokok atas kualitas, dibuat penetapan standar warna atau tinta, sementara tetap membuka peluang inovasi dalam aspek seperti desain, "linescreen", dan lain sebagainya.

Kenyataan dilapangan andaikan semua percetakan mempunyai kesempatan yang sama untuk mencetak suatu barang cetak yang standar, namun hanya seglintir percetakan - papan atas - saja yang mampu, yaitu mereka yang mumpuni dalam mengontrol keseluruhan proses dan secara konsisten mencetak terus menerus sesuai standar dari waktu ke waktu.

Standar cetak hanya berfokus pada kualitas, suatu perusahaan percetakan dinilai lebih atau unggul dari para pesaing lebih banyak karena pelayanan, kecepatan dan ketepatan menyelesaikan proyek dan seberapa andal memecahkan masalah atau komplain yang muncul.

Tantangan pembeli barang cetak

Jadi kalau sudah tahu bagaimana dinamika industri cetak, siapa takut dengan standar cetak?

Justru para pelaku cetak harus dapat memaksimalkan sisi positif yang diusung oleh standar. Sudah umum pembeli barag cetak tidak bisa mengandalkan satu percetakan saja, bisa karena masalah lokasi, luasnya area penyebaran barang cetakan yang harus disebar, keterbatasan kapasitas suatu percetakan, atau bahkan mengurangi ketergantungan terhadap satu percetakan.

Pembeli barang cetak seperti perusahaan iklan harus memikirkan material cetak dapat selesai saat kampanye promosi suati produk dimulai, karena kalau terjadi keterlambatan maka program iklan menjadi macet dan terganggu. Ujungnya unjuk kerja manager promosi bisa buruk dan karirnya tidak maju. Manajer promosi di Singapura harus mengontrol anggaran biaya promosi, kalau mencetak di Singapura dan harus dikirim ke Indonesia untuk program promosi di Indonesia pastilah tidak efisien.

Keuntungan buat pembeli barang cetak

Ada beberapa hal yang membuat anda para "print buyer" menjadi nyaman dan maksimal dalam bekerja;

(1) Mempunyai pegangan yang konkrit, efektif dan netral dalam proses "file preparation" dan "in-house proofing"; jelas, tidak ada faktor suka dan tidak suka.

(2) Menerima "proof" dari percetakan sesuai dengan yang diinginkan, semua faktor warna misalnya sudah baku; tidak ada lagi faktor kejutan ternyata hasil akhir cetakan berbeda.

(3) Mengurangi proses "proofing" yang sering harus bolak-balik dan mempercepat proses persetujuan naik cetak.

(4) Menselaraskan aspek-aspek yang diinginkan atau diharapkan dengan pihak percetakan. Hal ini layaknya kita naik taxi, saat duduk dalam mobil kita memberi tujuan tempat dan kadang kala juga jalan yang akan dilalui ke sopir taxi, kalau tidak - maka sopir taxi akan mutar-mutar tidak keruan, atau sampai ketujuan namun sudah telat waktu.

Keuntungan buat percetakan

Percetakan pada saat yang bersamaan meraih hal-hal positif yang sama seperti halnya pembeli barang cetak. Berkerja dengan pelanggan yang puas dengan "proof" dan tahu atas apa yang diinginkan pastilah suatu yang menyenangkan, sebab mengurangi rasa was-was dan khawatir bila produk cetaknya ditolak dan tidak dibayar.

Dengan "proof" yang jelas, maka mengurangi biaya "make ready", proses awal cetak diatas mesin cetak dalam upaya mencari warna dan registrasi cetak sesuai dengan "proof".

Kenyataan lapangan, suatu percetakan yang terus menerus dapat secara konsisten mencetak suatu proyek cetakan tepat seperti yang diinginkan pelanggan, pasti akan meraih reputasi industri. Standar cetak dapat membuat proses komunikasi dengan pelanggan menjadi efisien dan efektif, dengan kata lain "kalau ngomong nyambung" maka pasti akan disukai pelanggan dan pasar. Percetakan seperti ini sering disebut sebagai percetakan profesional, tentulah mereka biasanya mempunyai keunggulan bersaing.

Beberapa standar cetak

Ada beberapa standar cetak yang umum ditemui saat ini di industri yang dapat dipecah dalam 3 kategori barang cetak;

1. Newsprint - cetak koran
Ada dua standar yaitu ISO 12647-3 dan SNAP

2. Publication - majalah dan publikasi
Ada dua standar cetak yaitu ISO 12647-2 dan SWOP

3. Commercial - brosur, promosi dll
Ada 2 standar cetak yaitu ISO 12647-2 dan GRACoL.


sumber: kertasgrafis

Menentukan Mesin Cetak Yang Cocok

Pangsa pasar cetak offset

Sebelum membeli, perlu tahu dulu apa segmen cetaknya, secara umum mesin cetak offset banyak digunakan dalam "commercial printing"; seperti cetak kartu, cetakan pamflet, brosur, booklet, dan majalah. Garis besarnya segala bentuk cetak warna maupun hitam putih untuk keperluan commercial dimana pelanggannya yaitu perusahaan yang mau promosi, berjualan dengan material cetakan, atau bahkan perusahaan iklan. Ada 2 tipe utama, pertama mesin cetak offset lembaran (sheetfed press offset) yaitu mesin cetak offset dengan input kertas potong / plano. (lawannya roll yang menggunakan mesin web press offset), kedua mesin cetak roll (web ofsett) yaitu mensin cetak offset dengan input kertas gelondongan (roll).

Mesin cetak offset lembaran umumnya digunakan untuk pekerjaan cetak dengan jumlah cetak yang rendah sampai menengah. Dalam jumlah cetak mulai dari 1000 lembar sampai dengan 100,000-an lembar. Mesin cetak offset roll (bisa dipecah menjadi dua Heat Set Web Offset – HSWO biasanya untuk cetak majalah dengan kertas Artpaper/coated paper dan Cold Web Offset –biasanya untuk kertas Koran atau uncoated) umumnya untuk jumlah cetakan yang besar sebab penggunaan mesin cetak offset lembaran menjadi tidak ekonomis, jumlah cetak bisa ratusan ribu lembar sampai dengan jutaan lembar. Printing Calender, Printing Colours mungkin menjadi pasar yang bagus.

Pasar vs Keuangan

Kalau pelanggan yang ditarget besar (apalagi captive customer; pelanggan sudah ditangan dan siap kasih order kapan saja) dan keuangan besar, jangan segan mencari mesin besar dan baru dengan kapasitas besar toh dana keuangan perusahaan besar. Mesin baru mempunyai produktifitas dan efisiensi tinggi dan jaminan purna jual. Namun kalau pelanggannya relatif kecil, taraf penjajakan dan keuangan juga relatif rendah maka banyak orang melihat alternatif mesin bekas (yang kriterianya juga banyak, ada "as is"- apa adanya, "refurbish" - diperbaiki sana sini, dan "rebuilt" - dimanufaktur ulang dengan rangka yang sama dan sparepart baru, jadi seperti mesin baru yang dilengakapi umumnya dengan warranty sparepart bila ada yang rusak).

Spesifikasi mesin vs Riset order cetak

- Kecepatan; semakin cepat semakin besar produktifitas (6000, 8000, 10,000 atau bahkan 15,000 ph - sheets per hour), kalau webpress pakai fpm atau mpm (feet per minute atau meter perminute).

- Lebar; ada yang 18", 20", 22", 24", 26", 28", 40" dll. (1 inch -2.54 cm), pemilihan lebar harus disesuaikan dengan jenis pekerjaan cetak yang bakal banyak digarap, jangan kekecilan dan kebesaran sebab tingkat efisiensi akan rendah. Perlu konsultasi dengan pelanggan, tenaga sales, dan supplier.

- Jumlah unit warna, ada 2, 4, 5, 6 bahkan 8 (untuk yang jumlahnya banyak 5 keatas ada yang disebut "perfector", sekali jalan bisa langsung bolak balik). Pemilihan jumlah unit warna bersandarkan pada produkfitas, efisiensi dan keuangan perusahaan. Mesin perfektor mempunyai efisiensi tinggi tapi mahal namun bisa cetak masing-masing 4 warna atas dan bawah dengan sekali naik cetak. Sedangkan mesin 2 warna (straight) murah tapi pekerjaan buruhnya banyak; bisa 4 kali naik cetak untuk perbandingan dengan perector 8 warna. Konsultasi dengan pelanggan dan tenaga sales; apa sih jenis cetakan yang bakal dijual? Bikin brosur 2 warna yang banyak tulisannya dan hanya pakai HVS, beli yang murah meriah 2 warna saja. Tapi kalau mau buat brosur, atau printing calender iklan dengan separasi 4 warna dan kertas art paper yang mengkilap, pertimbangkan beli paling tidak 4 warna.

- Unit Tambahan; bila job dan pelangagannya "high end" perlu pertimbangkan unit ke 5 untuk warna khusus bahkan sudah sangat standard diluar negri untuk mempunyai unit "Aqueous Coating" (penting untuk buat kertas jadi lebih kilap dan proteksi cetakan supaya tahan goresan, air dan minyak). Mahal sedikit, tapi siap untuk masuk kepasar yang lebih tinggi dan profit lebih besar. Printing colours memiliki banyak peluang.

"Break even point"

Minta supplier untuk membuat kalkulasi BEP. Dari proposal dan BEP, anda minta dibuat presentasi dimana lakukan kesempatan sesi tanya jawab tentang berbagai hal baik teknis dan komersil. Jangan takut untuk bertanya banyak mengingat harga barang yang anda beli bisa mulai dari puluhan juta rupiah bisa sampai ratusan dan bahkan milyaran rupiah. Jangan malu-malu dalam masalah ini yang nantinya digunakan untuk cetak warna , cetak kartu , dsb. Investasi yang anda lakukan besar sehingga pantas untuk menginvestasi waktu, pikiran dan tenaga dalam proses memilih dan membeli.

sumber : kamissore

Percetakan Al-Kitab Terbesar di Dunia

Tiga puluh tahun yang lalu Alkitab dilarang di sana, namun saat ini Cina memiliki salah satu percetakan Alkitab terbesar di dunia.

Sebuah fasilitas percetakan terbaru yang diperbesar akan menjadikan ibu kota Cina kuno, Nanjing, sebagai pusat Alkitab dunia.

Penerbit The Amity - bekerjasama dengan Bible Society - akan memproduksi 23 Alkitab setiap menitnya untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat di Cina.

Fasilitas itu akan melipatgandakan produksi Alkitab Amity setiap tahunnya. Pada 2007 mereka mencetak enam juta Alkitab. Saat fasilitas itu dibuka 19 Mei nanti, produksi akan melonjak sampai 12 juta - yang sebagian besar akan didistribusikan ke seluruh Cina.

Hal ini merupakan langkah besar dalam sejarah percetakan. Tentara mengijinkan penerbitan Alkitab pertama di Cina setelah Revolusi Kebudayaan, termasuk tiga juta yang dicetak di penerbitan Tentara Merah. Amity - salah satu percetakan Alkitan terbesar di dunia - memulai produksi pada 1987. Akhir Desember lalu sekitar 50 juta Alkitab telah diproduksi.

Sekitar 55.000 gereja menyebarkan Alkitab dari produksi Amity. Percetakan baru diperlukan untuk membantu memenuhi permintaan di sebuah negara dimana, sampai 30 tahun yang lalu, ke-Kristenan dilarang dan Alkitab disita.

"Kami sampai pada titik dimana kapasitas kerja begitu hebat, namun kami tidak mempunyai cukup tempat untuk menyimpan buku dan seluruh bahan baku kertas," kata Peter Dean, konsultan dari Bible Societies di Nanjing. "Ini ada dimana-mana."

Menurut Peter, ada "sebuah peningkatan minat akan ke-Kristenan" di negara yang diperkirakan tujuh persen dari satu milyar penduduknya adalah orang percaya.

"Ada beberapa perbedaan pandangan pada umat Kristiani di sana," akunya. "Namun semua orang menyetujui ada minat yang hebat dan banyaknya pertumbuhan di gereja-gereja Kristen."

"Yang mengejutkan saya adalah tujuan kami adalah untuk melayani Gereja di Cina. Seluruh kemampuan produksi baru ini tersedia untuk Gereja di daratan Cina. Jika mereka mau mencetak 12 juta Alkitab setahun, mereka telah mendapatkannya," kata Peter.

Sejak tahun 80-an, Penerbit Amity telah mencetak 54 juta Alkitab - 43 juta di antaranya disebarkan ke gereja di Cina. Beberapa diberikan secara cuma-cuma.

Peter menyatakan Bible Society memainkan tugas penting. "Kami merasa sangat didukung oleh orang-orang beriman yang telah mengumpulkan dana untuk membeli kertas di sini," Peter menjelaskan. "Jika anda mau menolong menyebarkan Alkitab di Cina, maka memberi uang untuk membeli kertas adalah hal terbaik yang dapat dilakukan," katanya.

Ini membuka kemungkinan bagi Gereja untuk mendistribusikan Alkitab ke wilayah pedesaan dan warga yang berpenghasilan rendah di Cina. Amity juga memproduksi Alkitab dalam delapan bahasa minoritas Cina serta Alkitab Braille. Dengan percetakan yang lebih besar, mereka dapat meluaskan cakupan buku dan Alkitab yang sudah ada.

"Anak muda perlu sekedar Alkitab yang dicetak tradisional," kata Rev Deng Fu Cun, salah satu pemimpin senior dari China Christian Council/Three Self Patriotic Movement. "Jadi kami berencana untuk memproduksi Alkitab dalam berbagai format digital."

sumber : christianpost

Tips Mencari Order Cetak

Tulang punggung keberlangsungan dari suatu bisnis percetakan, desain grafis, bisnis rumahan, internet marketing, bisnis online atau bisnis Indonesia lainnya adalah ORDER PESANAN. Suplai pekerjaan atau pemesanan order cetak maupun order desain biasanya selalu datang dari pelanggan tetap yang senantiasa memakai jasa yang anda sediakan. Bisa juga dari beberapa customer yang baru pertama kali datang dan menggunakan layanan dari anda.

Tidak selamanya konsumen akan datang menghampiri anda dengan order cetaknya setiap saat, kontinyu dan teratur. Apalagi di zaman Krisis Keuangan Global saat ini, repeat order dari loyal customer akan semakin berkurang. Ada suatu periode di industri percetakan, dimana kebutuhan cetak dan promosi lainnya menunjukkan grafik yang menurun cukup tajam. Kadang pula begitu lama periode stagnan-nya. Ini disebut sebagai periode paceklik order.

Berikut ini pengalaman yang mungkin berguna untuk memperoleh order cetak:

1. Menciptakan WIN WIN SOLUTION BUSINESS (BAGI HASIL ORDER CETAK)

Dewasa ini, ditengah meningkatnya persaingan usaha dibidang yang sama yakni Bisnis Usaha Percetakan dan kecenderungan para konsumen mencari harga beli yang relatif lebih murah, anda bisa menciptakan suatu kondisi bisnis yang bersifat WIN WIN SOLUTION BUSINESS (sama-sama diuntungkan). Terobosan dan inovasi cara berbisnis ini jarang dilakukan oleh kalangan percetakan, bahkan mungkin banyak yang alergi dengan cara ini. Idenya cukup jeli dan bisa dijadikan alternatif sebagai penyumbang devisa bagi perusahaan anda. Metode ini penulis namakan: BAGI HASIL ORDER CETAK.

Bayangkan, bila anda hanya menunggu order cetak yang akan datang atau melaksanakan repeat order dari konsumen secara konvensional, maka tingkat margin yang anda peroleh mungkin berkisar antara 10% - 20% saja. Tapi dengan berbisnis memakai metode ini, kemungkinan pencapaian marginnya bisa mencapai 40% - 60%. Darimana diperoleh prosentase margin yang begitu tinggi? Pada prinsipnya, Metode Bagi Hasil Order Cetak mengedepankan bisnis bagi hasil yang amat transparan dan adil, saling percaya penuh antar sesama pelaku. Pola kerja selengkapnya dapat anda pelajari disini.

2. PERBANYAKLAH TENAGA FREELANCE MARKETING

Mengapa Freelance Marketing lebih diutamakan? Sebab utamanya adalah motivasi mereka biasanya lebih tinggi daripada tenaga Fulltime Marketing. Terserah anda, bagaimana cara menerapkan pola numerasi bagi Freelance Marketing (tenaga marketing) yang anda hired.

Menurut pengalaman penulis (dan rekan-rekan FM), biasanya mereka selalu meminta kelonggaran waktu kerja yang amat luwes. Dalam arti, jam kerja mereka tidak mau dibatasi dengan pola jam kerja kantor konvensional. Mereka kadang hanya datang setor muka lalu keluar kantor, masuk lagi 2-3 hari kemudian (tapi dengan membawa order tentunya!). Banyak kelonggaran dan keleluasaan yang harus diberikan oleh perusahaan bagi kaum marketing ini dibandingkan dengan staf lainnya. Rata-rata mereka tidak digaji secara tetap, biasanya pola bagi hasil yang diterapkan. Berlakulah bijaksana dalam mengatur dan memperhatikan kesejahteraan mereka.

Apa manfaatnya anda merekrut tenaga marketing tipe freelance ini, apalagi dalam jumlah banyak?

* Pakailah prinsip lebih baik banyak order dengan margin keuntungan sedikit, tetapi tetap berkelanjutan daripada sedikit order dengan untung besar tetapi cuma sesekali saja mendapatkannya.

* Income usaha anda akan stabil setiap bulannya karena terpenuhi oleh banyaknya order yang mereka suplai.

* Anda bisa melewati masa paceklik order pada periode tertentu bahkan di era krisis ekonomi global saat ini.

* Anda mendapatkan banyak referensi baru konsumen yang mengorder cetak kepada perusahaan. Tapi ingat, konsumen yang masuk via Freelance Marketing akan selalu loyal mengikuti kemanapun sang marketing tersebut pergi. Jadi jagalah etika dengan tidak menyerobot loyalitas konsumen tersebut dari tangan si marketing ini.

* Suasana tempat usaha lebih hidup dan bersemangat. Banyak ilmu dan pengalaman berbeda yang dibawa oleh masing-masing tenaga marketing. Manfaatkan dan sinergikanlah kemampuan mereka semaksimal mungkin

3. MERUBAH TAMPILAN TEMPAT USAHA

Agar konsumen baru anda menjadi loyal dan mau datang kembali ke tempat usaha percetakan anda, cobalah anda sedikit berusaha merapikan tempat usaha anda ini. Pada umumnya percetakan adalah tempat yang paling semrawut (berantakan) dan terkesan agak kotor (jorok). Hal ini sudah menjadi trade mark yang melekat pada pelaku industri percetakan, usaha skala kecil atau besar.

Bila anda ingin menghilangkan kesan negatif tersebut, tidak ada salahnya anda berusaha merubah image demikian dengan cara merapikan barang-barang stok (kertas) yang terlihat asal tumpuk saja. Tempat tinta di rapihkan. Bekas tinta cetak dihapus (dicat) kembali agar terlihat bersih. Yang paling utama adalah mencuci mesin cetak anda agar kelihatan kinclong. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam hal mendidik para pegawai anda agar bersikap lebih bersih lagi setiap harinya. Juga diperlukan kemauan dan contoh yang ekstra keras dari anda sebagai pemilik usaha, agar perilaku bersih dari anda dapat ditiru oleh bawahan anda.

Bagi para pemain di bisnis percetakan, bila ingin mendatangi suatu tempat produksi cetak untuk keperluan bisnisnya, hal pertama kali yang diingat adalah bagaimana suasana tempat tersebut. Kalau sudah cocok dengan suasana, lingkungan, pola kerja dan sdm di tempat tujuannya biasanya mereka enggan berpindah ke lain hati. Nah, untuk mempertahankan konsumen loyal seperti ini, cobalah anda sebagai pengusaha percetakan berkorban sedikit dengan merapikan tempat usahanya seperti cara tersebut diatas. Kalau bisa tampilan luar kantor anda dicat ulang dengan warna yang rada-rada nge-jrenk ( ada ciri khas ). Kalau nggak ada biaya, tidak perlu direnovasi fisik, cukup beri warna pembeda minimal setiap awal tahun baru.

Perhatian ekstra perlu ditujukan pada tampilan lay-out ruang resepsionis sebagai ujung tombak usaha anda. Beri sentuhan khas anda pada ruang ini. Utamakan kenyamanan konsumen dalam hal menunggu, sebab konsumen percetakan rata-rata sanggup menunggu order cetaknya lebih dari 2-5 jam lamanya. Tidak perlu terlalu mewah sesuaikanlah dengan skala usaha anda, asalkan konsumen betah dan nyaman berlama-lama ditempat anda, apalagi konsumen yang baru pertama kali datang ke tempat anda !

Ingin usaha percetakan anda tetap kebanjiran order ? Temukan TIPS CARI ORDER lainnya secara lengkap disini. Semua Strategi Marketing yang Jitu dan Cara Mencari Order yang Efektif ada di dalamnya, yang tentunya disesuaikan dengan skala usaha anda.

Semoga bermanfaat....


sumber : chabelita

Percetakan Al-Qur'an

MADINAH ALMUNAWWARAH, sekalipun baru pertama dikunjungi, begitu melekad di hati. Saya sudah mendatangi Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, dan banyak lagi kota, tapi tidak seberkesan Madinah. Fokus keterkaguman tentulah Mesjid Nabawi. Lebih dari itu, Madinah mengaduk-aduk pikiran dan rasa, banyak keterperangahan dikirimnya. Satu diantaranya, percetakan Al-Quran.

Di Madinah Pemerintah Arab Saudi mendirikan Al Quran ‘Mujamma’ Al Malikul Fahd Lithibaatil Mushafi Asy-syarif (King Fahd Complex for Printing the Holy Quran) di bawah Kementerian Agama. Inilah kompleks percetakan termoderen yang pernah saya lihat. Mencetak Al Quran membutuhkan ketelitian tinggi. Dari keterangan yang didapat disana-sini ketelitian menjadi prioritas utama.

Ya, saya berkesempatan melihat. Luar biasa. Sebelum naik cetak, draf mushaf diteliti berlapis-lapis oleh ulama-ulama terpilih. Kecil kemungkin terjadi kesalahan. Wong salah sedikit langsung dibuang. Demi menjaga agar Al-Quran tidak berversi-versi. Al-Quran yang sama sampai akhir zaman.

Begitulah, setelah melapor, kami dipersilahkan memasuki kompleks yang maha luas. Menunggu sebentar pengunjung terdahulu ke luar, kami langsung diarahkan ke percetakan. Mesin-mesin moderen, Al-Quran yang tengah dicetak, pajangan Al-Quran yang telah dicetak, dan sebagainya dipamerkan. Jangan-jangan coba-coba lho masuk percetakan besar di Indonesia, ada tulisan: “Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!. Selain petugas dilarang masuk!”. Ini, bebaaaaaaaaaaaaas.

Lebih asyik pula, juru bicara percetakan, Abdullah Mahmud, sarjana lulusan Universitas King Abdul Aziz Jeddah, menjelaskan secara singkat tentang percetakan raksaan ini. Intinya, Al-Quran yang di-OK yang betul-betul sempurna, kelas satu. Yang cacat, dimusnakan. Harap maklum, ratusan pakar meneliti sebelum dan sesudah dicetak. Mengangumkan.

Si Abdullah yang ramah (maaf, banyak orang Arab memandang sebelah mata orang Indonesia) adalah keharuan tersendiri. Dan, yang lebih mengagumkan Al-Quran juga dicetak (terjemahannya) dalam versi berbagai bahasa. Dari bahasa yang dipakai jutaan petutur sampai yang ratusan juta. Lalu, dibagi gratis.

Saya memuji ambilan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Betapa tidak, berapa triliun riyal dikucurkan untuk ‘mengamankan’ dan menyebarluaskan firman Allah SWT. Jangankan menghitung, membayakan saja tidak. Jutaan Al-Quran dicetak terus-menerus. Semoga Allah melimpahkan pahala bagi pengagas, pelaku, dan yang berusaha menquantumkan kerja mulia ini. Amin.

Lebih hebat lagi, pengunjung diberi keterangan ringkas dan dipersilahkan menanyakan A-Znya perihal percetakan. Syangnya, karena bahasa Arab yang sangat terbatas, hanya bisa menganguk-angguk. Saya jadi menyesal, kenapa bahasa Arab yang dipelajari sejak kecil menguap begitu saja. Hingga, tidak mendapat informasi lebih dalam. Semoga nanti berkesempatan membaca yang lebih detail.

Puas melongok sana-sana, jam berkunjung habis. Hebat nian pemerintah Arab Saudi. Begitu waktu sholat masuk, semua kegiatan stop. Dan, kami dipersilahkan meninggalkan percetakan yang mengangumkan tersebut.

Eit … sebelum ke luar dapat kejutan. Kami disuruh berbaris satu per satu. Begitu melangkah ke luar setiap orang diberi hadiah, Al-Quran. Duh senangnya. Terima kasih wahai para penentu kebijakan percetakan.

Melangkah ke luar, tidak sabar membuka Al-Quran yang ditulis bertinta (ala) emas tersebut. Sunhanallah. Ternyata terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Baru paham, sebelum masuk ketua rombongan mengisi formulir. Dari Indonesia.

Satu hal langsung mengingatkan otak, saya yang tidak rutin membaca Al-Quran, Insya Allah akan memulai rutin membacanya. Di Mesjid Nawawi mengaku, mengabaikan amanah agama anutan, setiap hari merasa rugi kalau tidak membaca surat kabar, majalah, buku, atau postingan internet. Tapi, kalau membaca Al-Quran pilih-pilih ketika, tidak rutin.

Semoga Allah menolong dengan meringankan hati, mengembalikan pemaknaan Al-Quran sebagai bacaan harian Muslim. Terima kasih ya Allah atas petunjukmu langsung ke jantung. Dan, semoga mampu melawan diri, menjadikan membaca Al-Quran pada proporsinya. Ringankan hati hamba Ya Yang Mahapengasih. Amin.

Bagaimana menurut Sampeyan?

sumber : webersis

Defenisi Percetakan

Percetakan adalah sebuah proses industri untuk pemproduksikan massal tulisan dan gambar, terutama dengan tinta di atas kertas menggunakan sebuah mesin cetak. Dia merupakan sebuah bagian penting dalam penerbitan dan percetakan transaksi.

Banyak buku dan koran sekarang ini biasanya dicetak menggunakan teknik percetakan offset. Biasanya imaji yang akan dicetak terlebih dahulu dilukiskan ke atas pelat offset dengan bantuan printer laser kemudian pelat ini akan diolah mesin cetak menjadi pola penintaan yang akan ditimpakan ke atas kertas cetak. Warna-warna bisa didapatkan dengan menimpakan beberapa pola warna dari setiap pelat offset sekaligus.

Teknik percetakan umum lainnya termasuk cetak relief, sablon, rotogravure, dan percetakan berbasis digital seperti pita jarum, inkjet, dan laser.

Dikenal pula teknik cetak poly untuk pemberian kesan emas dan perak ke atas permukaan dan cetak emboss untuk memberikan kesan menonjol kepada kertas.

sumber : wikipedia

Media Cetak di Aljazair Belum Punya Percetakan

Tidak satu pun media cetak di Aljazair saat ini memiliki fasilitas pencetakan sendiri dan semua proses percetakan dilakukan melalui percetakan milik negara di mana sensor dan breidel terhadap media terjadi dalam proses produksi itu.

Hal itu terungkap pada Sabtu (7/3) malam saat Tempo kedatangan tamu seorang pemimpin redaksi sebuah media bisnis berbahasa Prancis di Aljazair yang membagi informasi mengenai kondisi pers di negara itu.

Outoudert Abrous Pemimpin Redaksi harian La Liberte mengatakan, “Kadang kami menemui koran kami sudah tercetak dengan satu-dua kolom putih tanpa teks, itulah berita-berita yang disensor oleh pemerintah.”

Pertemuan Tempo dengan Abrous dimungkinkan oleh program pengenalan Indonesia yang dilaksanakan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Aljazair. Yuli Mumpuni Widarso, Duta Besar Indonesia untuk Aljazair mengatakan program pengenalan antar negara lewat media lebih efektif dibanding program-program kesenian yang dilakukan kedutaan.

“Dengan biaya yang relatif sama dengan acara-acara kebudayaan saya lebih cenderung melakukan program seperti ini,” tutur Yuli yang juga pernah menghadirkan jurnais Aljazair dalam pertemuan dialog antar media di Bali Mei tahun lalu.

"Informasi yang disampaikan kepada masyarakat di sana akan lebih bebas berdasarkan point of view jurnalis dibanding lewat program kebudayaan yang seolah-olah mencekoki wartawan dengan informasi tunggal dari kedutaan," tutur Yuli.

Kondisi media di Indonesia menurut Abrous memiliki banyak kesamaan dengan kondisi di Aljazair. La Liberte menurut Abrous pernah ditutup oleh pemerintah Aljazair tahun 1994 karena artikel yang ditulisnya soal seorang menteri bidang ekonomi yang hendak mencalonkan diri sebagai presiden.

Abrous bahkan menerima ganjaran hukuman penjara enam bulan atas artikel itu namun hanya menghabiskan waktu selama lima hari di penjara karena kampanye jurnalis lokal yang juga membangun kampanye internasional untuk mengadvokasi masalah itu. Pencemaran nama baik oleh media di Aljazair menurut Abrous bisa berakibat dua hal, hukuman penjara dan ganti rugi material.

Hanya saja menurut Metta Dharmasaputra, Redaktur Bidang Ekonomi di Koran Tempo, di Indonesia tantangan media “Berubah bentuk dari represi pemerintah menjadi tekanan publik dan pengusaha lewat somasi dan tuntutan hukum.”

Abrous mengharapkan adanya kerja sama dalam berbagi informasi antara kedua pihak mengenai situasi di negara masing-masing, karena menurutnya informasi dari sumber primer lebih objektif dibanding yang datang dari kantor-kantor berita.

Aljazair adalah sebuah negara bekas jajahan Prancis di bagian utara Afrika yang dibatasi Laut Mediterania, Libya di timur, Niger dan Mali di Selatan serta Maroko di sebelah barat. Sekitar 60 persen harian di Aljazair menggunakan bahasa Prancis sedangkan 80 persen mingguan terbit dalam bahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa resmi namun penjajahan Prancis selama sekitar satu abad membuat bahasa Prancis menjadi bahasa kedua yang tidak resmi di Aljazair. Aljazair memiliki sekitar 33 juta penduduk dan menurut Duta Besar Indonesia untuk negara itu penduduk non muslim hanya sekitar 1.200 orang.

Percetakan Al-Quran Terbesar di Dunia

Tiap tahun, 10.000.000 eksemplar Alquran disebarluaskan ke seluruh dunia. Jutaan Alquran itu dibagikan oleh Kerajaan Arab Saudi melalui Percetakan Mushaf Alquran “Kompleks Malik Fahd” di Madinah. Barangkali hal itu pula yang mendorong para jemaah haji melirik Percetakan Mushaf Alquran itu sebagai salah satu dari lokasi tujuan ziarah/wisata di “kota nabi.”

Tepatnya, percetakan Alquran tingkat dunia itu berjarak tempuh sekitar 10 kilometer dari kota Madinah Almunawarroh ke arah kota Tabuk. Percetakan yang bersebelahan dengan pusat latihan tempur tentara Arab Saudi itu didirikan pada bulan Safar 1405 Hijriyah atau 1984 Masehi.

“Percetakan itu diresmikan Raja Malik Fahd, karena itu dinamakan ‘Kompleks Malik Fahd’,” ucap Direktur Publikasi ‘Kompleks Malik Fahd’ Syeikh Sholeh Husain.

Tidak tanggung-tanggung, percetakan Alquran itu luasnya mencapai 250 ribu meter persegi dengan puluhan gedung berderet-deret. Gedung-gedung itu antara lain lokasi percetakan, asrama pengurus, tempat perbaikan alat percetakan, poliklinik, kafetaria, gudang penyimpanan hasil produksi, dan gudang pemusnahan sisa-sisa produksi Alquran yang cacat.

Ada juga gedung pusat pelatihan petugas, pusat pengembangan Dirosah/Pembelajaran Alquran, asrama petugas, asrama penginapan tamu, tempat pejabat VIP, tempat pembuatan CD Alquran, tempat video sejarah Alquran untuk tamu, dan sebagainya.

Di lantai 2 gedung itu ada gedung pengawasan kualitas hasil cetak Alquran dan tempat koleksi Alquran dari berbagai bahasa yang pernah dicetak percetakan itu. “Kalau di lantai 1 merupakan lokasi percetakan dengan 1.700 petugas, maka di lantai 2 merupakan lokasi pengawasan Alquran dengan 450 pengawas,” katanya.

Fakta itu menjadikan percetakan mushaf Alquran ini merupakan yang terbesar di dunia dengan kapasitas cetak 30 juta eksemplar per tahun.

Setiap tahun, kata sang direktur publikasi, selain cetakan tertulis Al-Quran itu dicetak dalam berbagai bentuk, seperti elektronik berupa CD (compact disk) dan kaset. Cetakannya pun ada kategori 30 juz, lima juz (enam buah), dan satu juz (30 buah). Sejak berdiri tahun 1984 sampai sekarang, 240 juta jilid Alquran sudah dihasilkan dan dibagikan ke seluruh penjuru dunia.

Untuk kepentingan syiar Islam, Percetakaan Mushaf Alquran Kompleks Malik Fahd ini juga mencetak Alquran beserta terjemahannya ke dalam 53 bahasa, di antaranya bahasa Afrika, Arab, Asia, Inggris, Spanyol, Urdu, dll. Alquran yang model ini dibagikan secara gratis baik melalui pengiriman langsung ke negara-negara yang bersangkutan maupun dibagikan di Arab Saudi pada saat ummat Islam berkumpul untuk menunaikan ibadah haji.

"Alhamdulillah, program kami mencetak Alquran dan terjemahannya dalam 53 bahasa sudah terlaksana. Alquran yang model ini kami bagikan secara gratis. Untuk musim haji tahun ini kami bagi 2 juta jilid. Semoga Allah memudahkan semua urusan ini," kata Syekh Soleh

“Tapi, kami tidak hanya mencetak Al-Quran, melainkan kami juga mencetak jurnal kajian tentang Al-Quran dan Assunnah (hadits nabi), termasuk jurnal bantahan untuk meluruskan hal-hal yang berkaitan dengan Alquran dan hasil seminar-seminar Alquran,” katanya.

Proses pembuatan

Sebagaimana penjelasan yang diterjemahkan mahasiswa Indonesia yang menjadi “tenaga musiman” (temus) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Susetyo Hadi, Direktur Publikasi ‘Kompleks Malik Fahd’ Syeikh Sholeh Husaini menyebut proses pencetakan Alquran melalui lima tahap.

“Sebelum dicetak pada media kertas cetak yang sebenarnya, para kaligrafer menorehkan tulisan-tulisan huruf Alquran tanpa titik dan baris di atas plat cetakan yang transparan. Itu tahap pertama,” katanya.

Tahap kedua, hasil tulisan para kaligrafer itu langsung dikirimkan tim pengawas kepada ulama-ulama besar di berbagai negara di dunia untuk dilakukan pemeriksaan secara mendetail dan akurat.

“Setelah melakukan pemeriksaan, tim pengawas yang berkeliling dunia itu akhirnya menemui penulisnya, sehingga bila ada kesalahan sekecil apa pun akan langsung diperbaiki di depan tim pengawas senior yang terdiri atas beberapa ulama Arab Saudi,” katanya.

Perbaikan itu juga sangat teliti, misalnya, ada kelebihan satu titik, ada kelebihan lekukan pada huruf sin, dan sebagainya, sehingga kekeliruan sekecil apa pun terkoreksi.

Tahap ketiga adalah memberikan titik dan baris untuk huruf-huruf tertentu pada halaman yang ada, kemudian dikirimkan lagi kepada tim pengawas senior untuk diteliti kebenarannya.

“Untuk tahap keempat adalah memberikan tanda-tanda waqof dan tahap kelima adalah memberikan nomor-nomor ayat, halaman, dan pinggiran kaligrafis, kemudian hasilnya baru dicetak oleh 1.700 petugas teknis di percetakan,” katanya.

Hasilnya pun, katanya, masih ada tahap sortir yang juga sangat teliti. “Yang salah atau cacat, apakah kesalahan titik dan baris, adanya lipatan kertas yang cacat, adanya jahitan yang melenceng, maka semuanya akan disortir untuk dimusnahkan di gedung pemusnahan,” katanya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan pihaknya sekarang mencetak Alquran yang diterjemahkan dalam 50 bahasa dan satu bahasa isyarat, di antaranya bahasa Afrika, Arab, Asia, Inggris, Spanyol, Urdu, Hausa, Macedonia, dan sebagainya. “Untuk bahasa Asia, antara lain bahasa Cina, Korea, Indonesia, dan sebagainya,” katanya.

Di akhir penjelasannya kepada jurnalis Indonesia yang tergabung dalam PPIH Arab Saudi, Direktur Publikasi Syeikh Sholeh Husaini berpesan agar jurnalis selalu berada di garda terdepan.

“Jurnalis itu memiliki tangung jawab yang besar untuk menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Alquran kepada masyarakat dunia,” katanya, sambil menyalami tujuh jurnalis dan dua petugas yang diterimanya, termasuk seorang jurnalis perempuan.

Bagaimana komentar jemaah haji Indonesia yang mengunjunginya? “Percetakannya seperti percetakan suratkabar di Indonesia, tapi cara kerjanya sangat luar biasa,” kata jemaah haji asal Surabaya, Hidayat Masaji.

Agaknya, pandangan jemaah haji plus (jemaah haji khusus) itu tidak terlalu salah, mengingat Alquran yang berasal dari percetakan di “kota nabi” itu melalui proses yang tidak sesederhana yang dibayangkan, sehingga kualitasnya pun tak diragukan lagi.

sumber : republika