Selasa, 17 Maret 2009

Matinya Gutenberg

The Internet is becoming the town square

for the global village of tomorrow.

(Bill Gates)


Dulu, sekitar tahun 1440-an, dunia berdecak kagum. Seorang pemuda dari kota Mainz, Jerman, mengumumkan penemuan mesin cetak. Mesin ajaib ini menengarai sebuah babakan baru. Revolusi budaya meletus. Nama Johannes Gutenberg pun melambung. Masyarakat berinteraksi dengan cara baru. Pertukaran narasi pun terjadi. Sejarah diabadikan melalui buku-buku. Agama berekspansi melalui kitab-kitab.

Tapi, di zaman yang serba digital ini, banyak ahli meramalkan kejayaan Gutenberg akan segera berakhir. Era media cetak pun semakin suram. Philip Meyer, penulis buku The Vanishing Newspaper, seperti pernah dikutip Kompas, meramalkan koran cetak terakhir terbit pada April 2040.

Lepas dari terbukti atau tidak, ramalan Philip Meyer bisa dipahami. Sejak kehadiran internet yang dilanjutkan dengan menjamurnya portal-portal informasi digital, pola baca dan relasi antarorang berubah. Apalagi sekarang portal-portal itu berkompetisi dengan inovasi-inovasi yang semakin memanjakan dan memuaskan pengguna.

Perubahan itu terjadi sekarang dan di sini. Sejak kehadiran e-paper, saya sudah tidak lagi berebut Harian Kompas dengan kawan sekantor. Saya tidak lagi susah payah membolak-balik halaman koran sampai lecek. Saya tak lagi susah payah mencari halaman koran yang lepas lantaran dibaca kawan lain dan lupa menggembalikan. Sekarang, tinggal ‘klik’ saja, berita-berita yang ada di Kompas pun segera bisa saya nikmati. Toh, kontennya sama persis dengan edisi cetaknya. Malahan saya bisa membaca informasi lebih banyak lagi dan lebih update dengan portal online-nya.

Kompas sendiri memberitakan bayang-bayang suram media cetak ini ditunjukkan oleh kondisi real trend konsumsi masyarakat atas media cetak. Menyitir penelitian AC Nielsen yang menyebut oplah media cetak turun, sementara konsumsi media digital justru naik. Katanya oplah koran turun 4 persen, majalah 24 persen, tabloid 12 persen. Sementara, pengakses internet naik 17 persen.

Pergerseran dari cetak ke digital memang tidak terhindarkan. Kantor pos sudah lama menelan ‘pil pahit’ dari kehadiran peranti digital ini. Orang sekarang tidak lagi berkirim surat dan ucapan selamat melalui kartu cetakan. Tapi, melalui media digital seperti SMS, MMS, Facebook, Chatting, dan sebagainya. Pak Pos sudah digantikan dengan Google, Yahoo!, dan sebagainya. Tidak tertutup kemungkinan pil pahit itu pun akan disantap oleh industri percetakan.

Kertas pun semakin ditinggalkan. Hal ini nampak pada kantor-kantor yang mulai meminimalisir penggunaan kertas dan mengoptimalkan peran digital. Ada klaim yang menganggap zaman sekarang adalah zaman paperless, nir kertas. Buku-buku online atau e-book pun semakin marak. Banyak situs seperti situs Gutenberg menyediakan ratusan bahkan ribuan e-book yang bisa diunduh. Sekolah pun mulai melayani buku-buku pelajaran digital.

Secara peribadi, saya tidak yakin dunia akan seratus persen paperless. Masih ada ruang bagi industri kertas dan percetakan. Asalkan punya kreativitas dan inovasi. Tapi pergeseran di atas perlu disikapi karena itu sudah, sedang, dan akan terus terjadi. Apalagi laju teknologi sering jauh lebih cepat dari laju masyarakat sendiri.

Teknologi selalu memunculkan kejutan-kejutan yang tak jarang menimbulkan shock culture bagi masyarakat penerimanya. Apalagi kini intensitasnya sudah mengarah pada apa yang dinamakan dengan “konvergensi digital” di mana mobile devices kian berperan. Sekarang, orang bisa akses informasi, menulis, mengirim, berkomunikasi, kapan pun di manapun. Pada taraf lanjut ini, orang tidak lagi repot menenteng laptop, membuka, dan mencolokkannya dengan kabel internet. Tapi, semua itu sudah ada di genggaman. Kehadiran BlackBerry, iPhone menjadi bukti konkret.

Sepertinya dentang ‘lonceng kematian’ mesin cetak sudah sayup-sayup terdengar. Meski tidak tahu persis kapan hari kematian itu tiba. Tidak pasti juga apakah arus digital ini akan benar-benar menggantikan seluruh fungsi dari mesin temuan Gutenberg ini. Minimal sayup-sayup lonceng ini menjadi peringatan dini bagi para pelaku industri percetakan, media cetak, kertas, dan sebagainya untuk terus berinovasi, mencari peluang dan celah pasar baru, dan sebagainya.

Seandainya mesin cetak memang harus ‘pensiun’, dunia tetap akan mengenang Gutenberg. Dialah bidan lahirnya masyarakat yang beradab dengan buku-buku dan membaca. Gutenberg terus mengabadi bersama mensin cetaknya. Terbukti namanya masih saya sebut dalam tulisan ini. Seandainya Gutenberg yang meninggal pada 23 Februari 1468 itu lahir kembali, ia pasti akan lahir menjadi e-Gutenberg!

Sumber : Kompasiana

1 komentar: