Bos Jawa Pos Group Dahlan Iskan menerbangkan 50 anggota pasukannya termasuk dari Kaltim Post Group ke Eropa, pekan lalu. Tujuan utamanya melihat Drupa Fair, even besar dunia di Jerman yang ke-13. Ini pameran khusus mesin-mesin percetakan mutakhir terutama untuk media cetak mulai koran, majalah sampai jenis produk percetakan lainnya.
DRUPA FAIR diselenggarakan sekali dalam empat tahun di kota Dusseldorf dengan penyelenggara tetap Messe Dusseldorf GmbH, yang berkedudukan di kota tersebut. Ini pameran percetakan terbesar di dunia. Karena itu, masyarakat percetakan di berbagai dunia merasa rugi kalau tidak datang ke sana. Ini semacam olimpiade percetakan, kata Daniel, guide kami.
Setiap hari ada puluhan ribu orang tumpah ke Drupa Fair, yang diselenggarakan hanya selama dua pekan, mulai 6 s/d 19 Mei 2004. Saat kami tiba di sana tercatat jumlah pengunjung mencapai lebih dari 394.000 orang yang 54% di antaranya berasal dari luar Jerman (122 negara).
Pameran ini diliput lebih dari 3.350 wartawan media cetak dan media elektronik dari 82 negara. Dari brosur yang kami terima, pameran dagang mesin percetakan dan media itu diikuti 1.862 peserta dari berbagai perusahaan mesin cetak dan media di seluruh dunia.
Saking membeludaknya pengunjung pameran, rombongan kami tak dapat penginapan di Dusseldorf atau Kohln. Jawa Holiday, perusahaan travel milik Jawa Pos yang menangani perjalanan kami, akhirnya menidurkan kami di kota Eindhoven, Belanda. Dari Eindhoven ke lokasi pameran, ditempuh sekitar 3 jam dengan menggunakan bus. Saya sendiri bersama Dirut Kaltim Post Group Zainal Muttaqin sudah dua kali datang ke sana. Yang pertama, tahun 1996 lalu. Kali ini, yang ke-13, rombongan Kaltim Post diperkuat manajer pemasaran Tatang Setiawan, Direktur Samarinda Pos Ludia Sampe, Pemred Post Metro Balikpapan Munir Asnawi, dan awak percetakan Kaltim Post Supardi. Selain itu ada tiga peserta lain, yaitu bos Bukit Damai Indah Johny Santoso, pengusaha H Achmad Aspia, dan pemilik Toko Stasioneri Serba Jaya Chandra Gunawan. Area Drupa Fair sangat luas. Kira-kira sekitar 51 hektare.
Di atas areal itu, dibangun 17 hall raksasa, yang menampung ribuan perusahaan peserta dengan mesin-mesinnya. Karena itu, tak mungkin kunjungan kami selesai hanya dalam waktu sehari. Dua hari saja belum semua dapat dilihat. Yang penting kita bisa melihat perkembangan terakhir mesin percetakan koran, kata bos Kaltim Post Zainal Muttaqin.
Raja mesin percetakan koran memang tetap dipegang Jerman dan Amerika. Perusahaan cetak GOSS Amerika sengaja mengambil space besar di Drupa untuk menampilkan dua mesin cetak terbarunya, GOSS Community dan GOSS Unilinear. Wah, luar biasa keunggulan mesin cetak milik GOSS, kata awak cetak Kaltim Post Supardi. Disebutkannya, GOSS Unilinear punya keunggulan luar biasa. Mampu mencetak koran antara 60 sampai 100 ribu eksemplar per jam. Juga bisa mencetak dua koran sekaligus dalam sekali jalan.
MAN ROLLAND Jerman juga tak mau kalah. Demikian juga FERAG, kBA Comet, dan WIFAG. Selain Jerman dan Amerika, beberapa negara Asia juga mulai berani membuat mesin cetak koran yang lebih murah. Misalnya China, yang mulai banyak memasuki pasar negara berkembang. Belakangan India juga sudah bisa bikin mesin cetak koran. Yang kami lihat di Drupa, India memamerkan mesin cetak ORIENEX X-cel. Mereka sangat bersemangat menjelaskan keandalan mesin cetaknya. Kami sudah punya perwakilan di Jakarta, kata petugas ORIENEX.
ISU DIGITAL Isu hangat di arena Drupa Fair kali ini ialah pemakaian sistem digital dalam percetakan koran (digital offset printing). Satu baliho besar saya lihat di Drupa bertuliskan, "Suatu hari kelak kita akan menggunakan secara penuh sistem cetak digital." Beragam pendapat masih terbagi tentang masa depan cetak digital. Oce, misalnya, lebih percaya pada toner base system alias lebih mengandalkan toner. Heidelberg Druckmanschinen AS lebih yakin dengan cetakan digital offset. Di sisi lain, kompetitor Heidelberg terus menggemakan akan kematian cetak digital ini dan terus memopulerkan cetakan berbasis inkjet. Frank Romano, salah seorang pakar percetakan terkemuka di Rochester Institute of Technology (RIT), New York, AS, yang hadir di pameran itu berpendapat, seluruh metode percetakan ada masanya masing-masing. Ada metode tradisional, ada yang canggih seperti digital di mana pelat cetak dibuat secara digital di dalam mesin. Kita juga terus mengembangkan cetak full digital yang umumnya menggunakan toner di samping inkjet. Kedua metode itu pun berbagi pasar dengan printer masing-masing. Bahkan sebagai tambahan, telah berkembang juga satu metode cetakan lagi, yaitu Elcorsy di Montreal, Kanada. Pendeknya, semua cara itu akan berkembang terus dan menemukan atau menciptakan pasarnya masing-masing (niche).
Ada contoh bagus soal niche ini, yaitu cetakan grafir tradisional untuk cetakan-cetakan besar seperti katalog, brosur, dan materi-materi iklan. Kemudian offset yang mendominasi sekarang, letterpress di tahun 1950-an, dan sekarang kita memasuki era digital. Era ini pun baru dalam 10 tahun terakhir sementara cetak warna melesat di beberapa tahun belakangan ini saja. Jadi sekali lagi saya tegaskan, setiap aplikasi, setiap proses memiliki masanya sendiri-sendiri dan penggunanya masing-masing, katanya. Menurut Frank, cetak digital memang lebih efisien, karena pelat cetak langsung diproses di mesin, ia menghemat waktu banyak sekali. Metode tradisional, dengan menimbang keunggulan dan kelemahan kedua sistem ini, dapat dikerjakan dengan biaya yang relatif lebih efisien. Dewasa ini kita mempunyai dua wilayah produksi di mana cetak digital lebih unggul dibanding cetak tradisional, tanpa peduli teknologi yang mana yang kita bahas.
Apakah Kaltim Post akan melangkah ke sistem digital? Kita lihat perkembangannya nanti, kata Zainal Muttaqin. Yang pasti, Kaltim Post saat ini menambah satu unit percetakan lagi, yang baru saja dibeli dari Kanada, yang mendapat lisensi dari GOSS Amerika.
sumber: sinarbuana
Repromenoffset:
BalasHapusThank's atas kunjungan ke Blog sederhana ini.
Salam