Sabtu, 09 Mei 2009

Suka Duka Usaha Percetakan

Leli Memulai Bisnis Dengan Modal 10 Jari.

Mewujudkan impian punya bisnis sendiri tidak selalu harus dengan modal besar. Hanya dengan modal 10 jari, mesin tik serta kemauan, Leli Martiwi dan suaminya bisa memiliki perusahaan percetakan sendiri.

Sejak masih pacaran, Leli dan suami sama-sama punya cita-cita memperbaiki taraf hidup mereka. "Judulnya sih dari dulu kita orang yang engga punya, sewaktu-waktu pengen punya uang lebih. Terus cita-cita sama suami, pengen punya usaha," ungkap Leli yang berlatar pendidikan Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Setelah menikah, Leli dan suami sepakat untuk mewujudkan impian mereka, dimulai dari usaha yang kecil terlebih dahulu, yakni membuka kios jasa pengetikan. "Karena saya pikir, saya tidak bisa memasak atau menjahit, bisanya hanya mengetik saja, ya sudah buka saja kios pengetikan skripsi di kawasan Guntur," ujar Leli.

Kebetulan suami Leli bekerja sebagai night auditor di Hotel Jayakarta, sehingga pada siang hari bisa menyambi mengetik dibantu seorang asisten. Sementara, Leli yang waktu itu (1981) masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, kadang-kadang mengganti tugas suami dan asistennya menunggui kios.

Sebulan pertama, mereka harus menerima kenyataan pahit, sama sekali tak order ketikan yang masuk. Padahal mereka tetap harus membayar sewa kios yang dipasangi plang sederhana itu per bulannya. "Karena bisnis ini belum memiliki kepastian, saya dan suami tidak melepaskan kerja. Jadi kalau gagal masih punya sesuatu," kata Leli. "Tapi yang paling engga enak kalo mau ke toilet, harus ke WC umum," ungkap Leli lagi.

Akhirnya, setelah cukup lama bersabar, order pertama datang juga. Order tersebut datangnya dari PT. Mustika Ratu yang kebetulan pabrik dan kantornya berdekatan dengan kios Leli. "Waktu itu, Mustika Ratu masih baru dan dulu belum ada komputer," jelas Leli.

Uang yang terkumpul sedikit demi sedikit, kemudian Leli belikan mesin stensilan. Sejalan dengan usaha kios ini, suami Leli mengerjakan order percetakan dengan menggunakan mesin stensil tersebut. "Sudah punya uang, beli lagi mesin handpress," ujar Leli. Karena waktu itu, peralatannya masih sederhana, desain cetakan dikerjakan secara manual.

Lambat laun, perusahaan percetakan "Raf Grafika" yang mereka dirikan semakin berkembang. Leli dan suami pun kemudian memutuskan untuk menutup kios pengetikan mereka yang telah berdiri selama 4 tahun dan pindah ke daerah Menteng Wadas Timur.

Tetapi dalam perjalanannya, Leli menyadari bahwa dia dan suami masih harus belajar banyak. "Karena kita engga punya network, engga punya akses ke pemilik modal dan akses info, tapi karena ingin maju maka saya kursus kewiraswastaan di LPK De Mono," ungkap Leli yang sempat juga bekerja di biro hukum.

Dari kursus tersebut, Leli merasa mendapat banyak manfaat. "Saya belajar mengurus keuangan, belajar bagaimana manajemen di kantor, bagaimana cara mendapatkan kredit dari pemilik modal dan juga diperkenalkan dengan networking yang ada," ungkap Leli. Dari hasil perkenalannya dengan pihak salah satu bank yang diperantarai LPK De Mono, Leli berhasil mendapatkan kredit. Uang dari kredit itu, Leli belikan mesin cetak baru. "Dengan adanya mesin baru, produktivitas jadi lebih bagus. Bisa membuat cetakan berwarna, misalnya kalender," kata Leli.

Sekarang, Leli telah memiliki mesin cetak 4 warna dan setengah plano, bahkan pelanggan pertamanya, PT. Mustika Ratu hingga sekarang masih menjadi pelanggan setianya. Bahkan tetangganya yang kerap melihat Leli dan suaminya sibuk mencari kertas untuk dicetak, malah membuka usaha supplier kertas. Usahanya ini berkembang sejalan dengan berkembangnya perusahaan Leli. "Kuncinya, kita belajar step by step, dan setiap ada masalah dibahas bersama. Kuncinya komunikasi, selalu mendiskusikan masalah di kantor," kata Leli.

Jatuh Bangun

Namun yang namanya usaha, pasti selalu ada jatuh bangunnya. Demikian juga dengan usaha percetakan yang dijalankan oleh Leli dan suami. "Yang bayarnya ngemplang juga banyak," ungkap Leli sambil tertawa. "Bahkan sampai sekarang pun masih ada yang kasih order tapi tidak bayar, sedangkan modal yang dipakai jadi tidak terbayar. Karena itu kita harus hitung ulang, untuk mencari efisiensi. Dan kalau ada order besar harus ada garansi bank," tambah Leli.

Yang paling menyedihkan bagi Leli, adalah ketika harus menghadapi krisis moneter 1998-1999. "Pada waktu itu, harga kertas naik, banyak perusahaan yang kolaps. Hampir dibilang selama beberapa bulan order kita kosong, sementara harus tetap membayar pegawai sebanyak 40-50 orang," kata Leli.

Tetapi Leli tidak kekurangan solusi. Daripada memilih menjual mesin percetakan yang bernilai sekitar Rp 800 juta, tetapi mengorbankan pegawainya, Leli dan suami menerapkan sistem seminggu libur, seminggu masuk. Di samping itu, pada masa krismon Leli dan suami tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada usaha percetakan. Mereka juga inngin menunjukkan kepada anak buah mereka, bahwa dalam situasi ini mereka mau berusaha. "Kami menjual lontong sayur di Monas pada hari Sabtu dan Minggu. Hasilnya engga banyak, tapi ada kepuasan sendiri bahwa kita tidak mengganggur," ungkap Leli.

Usaha memang tidak selamanya berlangsung mulus. Tetapi dari jatuh bangun itu, Leli mengambil pelajaran bahwa manajeman keuangan, semua harus tertulis. Selain itu, setinggi apa pun bunga bank, Leli tetap memenuhi kewajibannya membayar kredit bank. Dan usaha ini tidak sia-sia, selalu ada saja bank yang bersedia memberi kredit pada Leli dan suami karena mereka memiliki kredibilitas tinggi. Di dunia bisnis, kepercayaan memang tak ternilai.

sumber: female



4 komentar:

  1. Useful Sharing...

    Bagaimanapun juga, nasib baik tetap akan bertengger di pundak orang yg giat berusaha terutama untuk dirinya sendiri...

    MESIN CETAK MULTIUSAHA:
    untuk Cetak Offset-Sablon Manual-Sablon Digital-Undangan-SOUVENIR Cantik-Digital Printing-Desainer Grafis-DLL

    BalasHapus
  2. novarro:

    Thank's atas kunjungannya.
    Luar biasa, ....betul sekali Pak Novarro.

    Salam

    BalasHapus
  3. Nice Story
    izin sedot bang :)

    BalasHapus